Kamis, 23 Oktober 2008

Stress Kerja



Jacinta F. Rini, MSi.

Perkembangan ekonomi yang cepat, perampingan perusahaan, PHK, merger dan bangkrutnya beberapa perusahaan sebagai akibat dari krisis yang berkepanjangan telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi ribuan bahkan jutaan tenaga kerja. Mereka harus rela dipindahkan kebagian yang sangat tidak mereka kuasai dan tidak tahu berapa lama lagi mereka akan dapat bertahan atau dipekerjakan. Selain itu mereka harus menghadapi boss baru, pengawasan yang ketat, tunjangan kesejahteraan berkurang dari sebelumnya, dan harus bekerja lebih lama dan lebih giat demi mempertahankan status sosial ekonomi keluarga. Para pekerja di setiap level mengalami tekanan dan ketidakpastian. Situasi inilah yang seringkali memicu terjadinya stress kerja.

Hasil Penelitian

Menurut penelitian Baker dkk (1987), stress yang dialami oleh seseorang akan merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Para peneliti ini juga menyimpulkan bahwa stress akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting desease cells. Akibatnya, orang tersebut cenderung sering dan mudah terserang penyakit yang cenderung lama masa penyembuhannya karena tubuh tidak banyak memproduksi sel-sel kekebalan tubuh, ataupun sel-sel antibodi banyak yang kalah.

Dua orang peneliti yaitu Plaut dan Friedman (1981) berhasil menemukan hubungan antara stress dengan kesehatan. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa stress sangat berpotensi mempertinggi peluang seseorang untuk terinfeksi penyakit, terkena alergi serta menurunkan sistem autoimmune-nya. Selain itu ditemukan pula bukti penurunan respon antibodi tubuh di saat mood seseorang sedang negatif, dan akan meningkat naik pada saat mood seseorang sedang positif.

Peneliti yang lain yaitu Dantzer dan Kelley (1989) berpendapat tentang stress dihubungkan dengan daya tahan tubuh. Katanya, pengaruh stress terhadap daya tahan tubuh ditentukan pula oleh jenis, lamanya, dan frekuensi stress yang dialami seseorang. Peneliti lain juga mengungkapkan, jika stress yang dialami seseorang itu sudah berjalan sangat lama, akan membuat letih health promoting response dan akhirnya melemahkan penyediaan hormon adrenalin dan daya tahan tubuh.

Banyak sudah penelitian yang menemukan adanya kaitan sebab-akibat antara stress dengan penyakit, seperti jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan beberapa penyakit lainnya. Oleh karenanya, perlu kesadaran penuh setiap orang untuk mempertahankan tidak hanya kesehatan dan keseimbangan fisik saja, tetapi juga psikisnya.

Apakah Stress Kerja?

Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka dikatakan bahwa individu itu mengalami stress kerja. Namun apakah sebenarnya yang dikategorikan sebagai stress kerja? Menurut Phillip L. Rice, Penulis buku Stress and Health, seseorang dapat dikategorikan mengalami stress kerja jika :

* Urusan stress yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat juga menjadi penyebab stress kerja
* Mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu
* Oleh karenanya diperlukan kerja sama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan stress tersebut.

Gejala

Menurut Terry Beehr dan John Newman (1978) gejala stress kerja dapat di bagi dalam 3 (tiga) aspek, yaitu gejala psikologis, gejala psikis dan perilaku.


Kecemasan, ketegangan Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah Menunda ataupun menghindari pekerjaan/tugas
Bingung, marah, sensitif Meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin Penurunan prestasi dan produktivitas
Memendam perasaan Gangguan gastrointestinal, misalnya gangguan lambung Meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk
Komunikasi tidak efektif Mudah terluka Perilaku sabot
Mengurung diri Mudah lelah secara fisik Meningkatnya frekuensi absensi
Depresi Kematian Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan)
Merasa terasing dan mengasingkan diri Gangguan kardiovaskuler Kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan
Kebosanan Gangguan pernafasan Meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi, seperti ngebut, berjudi
Ketidakpuasan kerja Lebih sering berkeringat Meningkatnya agresivitas, dan kriminalitas
Lelah mental Gangguan pada kulit Penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
Menurunnya fungsi intelektual Kepala pusing, migrain Kecenderungan bunuh diri
Kehilangan daya konsentrasi Kanker
Kehilangan spontanitas dan kreativitas Ketegangan otot
Kehilangan semangat hidup Probem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur)
Menurunnya harga diri dan rasa percaya diri

Dampak Terhadap Perusahaan

Sebuah organisasi atau perusahaan dapat dianalogikan sebagai tubuh manusia. Jika salah satu dari anggota tubuh itu terganggu, maka akan menghambat keseluruhan gerak, menyebabkan seluruh tubuh merasa sakit dan menyebabkan individunya tidak dapat berfungsi secara normal. Demikian pula jika banyak di antara karyawan di dalam organisasi mengalami stress kerja, maka produktivitas dan kesehatan organisasi itu akan terganggu. Jika stress yang dialami oleh organisasi atau perusahaan tidak kunjung selesai, maka sangat berpotensi mengundang penyakit yang lebih serius. Bukan hanya individu yang bisa mengalami penyakit, organisasi pun dapat memiliki apa yang dinamakan Penyakit Organisasi.

Randall Schuller (1980), mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi. Menurut peneliti ini, stress yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, serta tendensi mengalami kecelakaan.

Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stress kerja dapat berupa:


* Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja
* Mengganggu kenormalan aktivitas kerja
* Menurunkan tingkat produktivitas
* Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. Kerugian finansial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya. Banyak karyawan yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya entah karena kelambanan atau pun karena banyaknya kesalahan yang berulang.

Dampak Terhadap Individu

Dampak stress kerja bagi individu adalah munculnya masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologis dan interaksi interpersonal

Kesehatan

Tubuh manusia pada dasarnya dilengkapi dengan sistem kekebalan untuk mencegah serangan penyakit. Istilah "kebal" ini dikemukakan oleh dua orang peneliti yaitu Memmler dan Wood untuk menggambarkan kekuatan yang ada pada tubuh manusia dalam mencegah dan mengatasi pengaruh penyakit tertentu, dengan cara memproduksi antibodi.

Sistem kekebalan tubuh manusia ini bekerja sama secara integral dengan sistem fisiologis lain, dan kesemuanya berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh, baik fisik maupun psikis yang cara kerjanya di atur oleh otak. Seluruh sistem tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor psikososial seperti stress dan immunocompetence. Istilah immunocompetence ini biasanya digunakan di bidang kedokteran untuk menjelaskan derajat keaktifan dan keefektifan dari sistem kekebalan tubuh.

Jadi, tidak heran jika orang yang mudah stress, mudah pula terserang penyakit. Cobalah Anda mulai memperhatikan diri Anda sendiri, dan tanyakan apakah Anda termasuk di antara orang yang sedang mengalami stress kerja? Dan apakah penyakit yang sering Anda alami merupakan akibat atau pengaruh stress kerja yang berkepanjangan ?

Psikologis

Stress berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang terus-menerus. Menurut istilah psikologi, stress berkepanjangan ini disebut stress kronis. Stress kronis sifatnya menggerogoti dan menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara perlahan-lahan. Stress kronis umumnya terjadi di seputar masalah kemiskinan, kekacauan keluarga, terjebak dalam perkawinan yang tidak bahagia, atau masalah ketidakpuasan kerja. Akibatnya, orang akan terus-menerus merasa tertekan dan kehilangan harapan.

Menurut Miller (1997), seorang peneliti asal Amerika, akar dari stress kronis ini adalah dari pengalaman traumatis di masa lalu yang terinternalisasi, tersimpan terus dalam alam bawah sadar. Hal ini jadi berbahaya karena orang jadi terbiasa "membawa" stress ini kemana saja, dimana saja dan dalam situasi apapun juga; stress kronis ini dianggap sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehingga tidak ada upaya untuk mencari jalan keluarnya lagi. Singkatnya, orang yang menderita stress kronis ini sudah hopeless and helpless. Tidak heran jika para penderita stress kronis akhirnya mengambil keputusan untuk bunuh diri, atau meninggal karena serangan jantung, stroke, kanker, atau tekanan darah tinggi. Jadi, amatilah diri Anda, apakah Anda termasuk orang yang suka membiarkan masalah tanpa dicari jalan keluar yang positif ? Berhati-hatilah akan konsekuensi yang bakal Anda hadapi !

Interaksi Interpersonal

Orang yang sedang stress akan lebih sensitif dibandingkan orang yang tidak dalam kondisi stress. Oleh karena itulah, sering terjadi salah persepsi dalam membaca dan mengartikan suatu keadaan, pendapat atau penilaian, kritik, nasihat, bahkan perilaku orang lain. Obyek yang sama bisa diartikan dan dinilai secara berbeda oleh orang yang sedang stress.

Selain itu, orang stress cenderung mengkaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Pada tingkat stress yang berat, orang bisa menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya, ia lebih banyak menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan, jarang berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah marah, mudah emosi. Tidak heran kalau akibat dari sikapnya ini mereka dijauhkan oleh rekan-rekannya. Respon negatif dari lingkungan ini malah semakin menambah stress yang diderita karena persepsi yang selama ini ia bayangkan ternyata benar, yaitu bahwa ia kurang berharga di mata orang lain, kurang berguna, kurang disukai, kurang beruntung, dan kurang-kurang yang lainnya.

Sebuah penelitian terhadap sekelompok karyawan yang bekerja di suatu organisasi menunjukkan, bahwa stress kerja menyebabkan terjadinya ketegangan dan konflik antara pihak karyawan dengan pihak manajemen. Tingginya sensitivitas emosi berpotensi menyulut pertikaian dan menghambat kerja sama antara individu satu dengan yang lain.

Sumber Stress


Untuk memahami sumber stress kerja, kita harus melihat stress kerja ini sebagai interaksi dari beberapa faktor, yaitu stress di pekerjaan itu sendiri sebagai faktor eksternal, dan faktor internal seperti karakter dan persepsi dari karyawan itu sendiri. Dengan kata lain, stress kerja tidak semata-mata disebabkan masalah internal, sebab reaksi terhadap stimulus akan sangat tergantung pada reaksi subyektif individu masing-masing. Beberapa sumber stress yang menurut Cary Cooper (1983) dianggap sebagai sumber stress kerja adalah stress karena kondisi pekerjaan, masalah peran, hubungan interpersonal, kesempatan pengembangan karir, dan struktur organisasi.


Kondisi Pekerjaan


* Lingkungan Kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stress, sulit berkonsentrasi dan menurunnya produktivitas kerja. Bayangkan saja, jika ruangan kerja tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruangan kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang bersih, berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja karyawan.
* Overload. Sebenarnya overload ini dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam "tegangan tinggi". Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.
* Deprivational stress. George Everly dan Daniel Girdano (1980), dua orang ahli dari Amerika memperkenalkan istilah deprivational stress untuk menjelaskan kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).
* Pekerjaan Berisiko Tinggi. Ada jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau berbahaya bagi keselamatan, seperti pekerjaan di pertambangan minyak lepas pantai, tentara, pemadam kebakaran, pekerja tambang, bahkan pekerja cleaning service yang biasa menggunakan gondola untuk membersihkan gedung-gedung bertingkat. Pekerjaan-pekerjaan ini sangat berpotensi menimbulkan stress kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.


Konflik Peran

Ada sebuah penelitian menarik tentang stress kerja menemukan bahwa sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, atau yang kurang memiliki struktur yang jelas, mengalami stress karena konflik peran. Mereka stress karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen (Rice, 1992). Kenyataan seperti ini mungkin banyak dialami pekerja di Indonesia, dimana perusahaan atau organisasi tidak punya garis-garis haluan yang jelas, aturan main, visi dan misi yang seringkali tidak dikomunikasikan pada seluruh karyawannya. Akibatnya, sering muncul rasa ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

Para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stress lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stress.

Pengembangan Karir

Setiap orang pasti punya harapan-harapan ketika mulai bekerja di suatu perusahaan atau organisasi. Bayangan akan kesuksesan karir, menjadi fokus perhatian dan penantian dari hari ke hari. Namun pada kenyataannya, impian dan cita-cita mereka untuk mencapai prestasi dan karir yang baik seringkali tidak terlaksana. Alasannya bisa bermacam-macam seperti ketidakjelasan sistem pengembangan karir dan penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen perusahaan, atau karena sudah “mentok” alias tidak ada kesempatan lagi untuk naik jabatan.

Struktur Organisasi

Gambaran perusahaan Asia dewasa ini masih diwarnai oleh kurangnya struktur organisasi yang jelas. Salah satu sebabnya karena perusahaan di Asia termasuk Indonesia, masih banyak yang berbentuk family business. Kebanyakan (family) business dan bisnis-bisnis lain di Indonesia yang masih sangat konvensional dan penuh dengan budaya nepotisme, minim akan kejelasan struktur yang menjelaskan jabatan, peran, wewenang dan tanggung jawab. Tidak hanya itu, aturan main yang terlalu kaku atau malah tidak jelas, iklim politik perusahaan yang tidak sehat serta minimnya keterlibatan atasan membuat karyawan jadi stress karena merasa seperti anak ayam kehilangan induk - segala sesuatu menjadi tidak jelas.

Mengatasi Stress Kerja

Stress kerja sekecil apapun juga harus ditangani dengan segera. Seorang ahli terkenal di bidang kesehatan jiwa, Jere Yates (1979,) mengemukakan ada delapan (8) aturan main yang harus diikuti dalam mengatasi stress yaitu:


* Pertahankan kesehatan tubuh Anda sebaik mungkin, usahakan berbagai cara agar anda tidak jatuh sakit
* Terimalah diri Anda apa adanya, segala kekurangan dan kelebihan, kegagalan maupun keberhasilan sebagai bagian dari kehidupan Anda
* Tetaplah memelihara hubungan persahabatan yang indah dengan seseorang yang Anda anggap paling bisa diajak curhat
* Lakukan tindakan positif dan konstruktif dalam mengatasi sumber stress Anda di dalam pekerjaan, misalnya segera mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam pekerjaan
* Tetaplah memelihara hubungan sosial dengan orang-orang di luar lingkungan pekerjaan Anda, misalnya dengan tetangga atau kerabat dekat
* Berusahalah mempertahankan aktivitas yang kreatif di luar pekerjaan, misalnya berolahraga atau berekreasi
* Melibatkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang berguna, misalnya kegiatan sosial dan keagamaan
* Gunakanlah metode analisa yang cukup ilmiah dan rasional dalam melihat atau menganalisa masalah stress kerja Anda. (jp)

Real Madrid di Liga Champion 2008/09
Menebus Blunder Los Galacticos

Real Madrid adalah raja Eropa. Tak ada yang bisa membantah itu. Tapi, setelah terakhir menjuarai Liga Champion 2001/02, El Real berubah menjadi bahan lelucon di Eropa.

Sampai saat ini, Los Blancos sudah mengoleksi sembilan gelar juara Piala/Liga Champion. Lima gelar yang pertama diraih beruntun antara tahun 1956-1960. Setelah itu Los Merengues juara pada 1966, 1998, 2000, dan 2002.

Sekarang Madrid mencari gelar ke-10 yang ternyata sangat sulit didapat. Madrid telah mencoba sejak musim 2002/03, tetapi selalu gagal. Pencapaian Los Merengues malah memburuk. Sejak Liga Champion musim 2004/05 Si Putih tidak pernah mampu melangkah lebih jauh dari babak perdelapanfinal.

Ada apa dengan Madrid? Dalam majalah Champions edisi Oktober-November 2008, penjaga gawang Madrid, Iker Casillas, menyatakan tahun ini klubnya punya peluang bagus untuk kembali menjadi kampiun Liga Champion.

“Saya percaya kali ini –dengan grup pemain yang lebih solid dan mengerti tanggung jawab masing-masing– kami bisa menjadi juara lagi."

Dari pernyataan ini tampak jelas bahwa permasalahan Madrid adalah kelompok pemain yang tidak solid. El Real menjadi bahan tertawaan karena dengan materi terbaik di Eropa, mereka malah hancur di Liga Champion.

Kebiasaan Presiden Florentino Perez mendatangkan bintang-bintang top (Madrid sampai mendapatkan julukan Los Galacticos) justru merusak tim. Ronaldo, David Beckham, Walter Samuel, Michael Owen, sampai Robinho memunculkan perang ego di tubuh Madrid.

Dengan kondisi tim seperti itu, Perez malah memecat Vicente Del Bosque, pelatih yang membawa Madrid menjuarai Liga Champion 2000 dan 2002. Ini orang yang bisa menyatukan ego para bintang.

Perubahan Calderon

Terbukti, para penerus Del Bosque tak ada yang berhasil mengembalikan harmoni ke tubuh Madrid. Carlos Queiroz, Jose Antonio Camacho, Mariano Garcia Remon, Wanderley Luxemburgo, dan Juan Ramon Lopez Caro bergantian mencoba peruntungan. Mereka gagal.

Setelah Ramon Calderon menggantikan Perez sebagai presiden klub, mulai ada perubahan. Calderon membawa pelatih Fabio Capello untuk mengembalikan kedisiplinan ke ruang ganti El Real. Capello memberikan gelar juara La Liga 2006/07, tapi Los Merengues masih buntu di Liga Champion.

Sejak 2007/08, Madrid dilatih Bernd Schuster. Ia membawa hal baru dalam pendekatan permainan serta didukung politik transfer yang tidak asal seperti di era Los Galacticos. Hasilnya, skuad Madrid sekarang lebih terkontrol dari segi kuantitas, kualitas, dan mentalitas.

“Di tingkat nasional, kami sudah kembali ke level terbaik. Kini kami ingin melakukan yang sama di tingkat internasional,” ujar Casillas. Melihat sepak terjang Madrid sejauh ini, apa yang dikatakan Casillas rasanya bisa diterima. (Dwi Widijatmiko)

Tetap Percaya Diri Setelah PHK




Johanes Papu, MSi. dari Team e-psikologi

Panik, marah, bingung, minder, putus asa, dan masih banyak lagi dampak-dampak psikologis yang terjadi akibat PHK. Ruang konseling di website ini pun dipenuhi oleh banyak permasalahan yang berkisar tentang berbagai perasaan yang bergejolak dalam diri si ‘korban” PHK. Banyak diantara mereka yang merasa sudah sangat putus asa karena sudah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tidak kunjung memperoleh pekerjaan. Begitu banyak surat lamaran dikirim dan berkali-kali sudah mengikuti test atau wawancara tetapi belum juga diterima bekerja. Ada juga yang mengaku sudah memperoleh pekerjaan tetapi masih merasa kurang yakin apakah dirinya akan bisa bertahan di tempat kerja yang baru tersebut.

Kondisi di atas mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita sejak terjadinya krisis ekonomi yang tidak kunjung membaik di negeri ini. Kondisi yang tidak menguntungkan itu telah memaksa terjadinya PHK, baik perorangan maupun massal, sebagai akibat terjadinya merger, perampingan demi efisiensi perusahaan, atau karena perusahaan terpaksa ditutup.

Luka Psikologis

Meskipun banyak diantara para karyawan yang terkena PHK mendapatkan uang pesangon yang cukup besar namun hal tersebut seringkali tidak dapat mengobati “luka psikologis” yang mereka alami. Situasi yang terasa nyaman ketika masih bekerja, seolah lenyap seketika ketika terjadi PHK. Dari seorang yang begitu “berkuasa” dan memiliki banyak anak buah di perusahaan tiba-tiba menjadi seseorang yang tidak memiliki “kuasa” dan anak buah lagi. Dari hari-hari yang diisi dengan kegiatan yang begitu terprogram, tiba-tiba menjadi tidak ada kegiatan lain selain mencari lowongan kerja baru. Situasi ini tidak urung menimbulkan berbagai “luka psikologis” seperti meragukan existensi (keberadaan) diri, terjadi kehampaan hidup, tidak percaya diri, meragukan kekuatan atau kemampuan yang dimiliki selama ini, mudah tersinggung dan seringkali terjadi hubungan yang kurang harmonis dengan anggota keluarga. Jika keadaan ini terjadi berlarut-larut maka dapat dipastikan bahwa si orang yang terkena PHK akan mengalami krisis kepercayaan diri dan kehilangan motivasi hidup yang berujung pada sulitnya memperoleh pekerjaan baru dan timbulnya berbagai macam masalah di kemudian hari. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan diri orang tersebut sehingga tetap memiliki pandangan hidup yang optimis sehingga ia mampu mendapatkan pekerjaan kembali?

Beberapa Saran

Apapun alasan anda berhenti bekerja, mengundurkan diri atas inisiatif sendiri atau pun di PHK, anda harus dapat mengendalikan dan menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut, mengontrol dorongan-dorongan dan perasaan yang bergejolak dalam diri anda dan tetap berusaha keras untuk mendapat pekerjaan baru. Untuk mengembalikan karir anda, anda dapat melakukan beberapa langkah praktis seperti membuat resume baru yang lebih inovatif dari sebelumnya, memperluas networking, secara proaktif mencari berbagai sumber yang dapat menjadi jembatan untuk memperoleh pekerjaan baru, dan tidak lupa melakukan kegiatan spiritual memohon petunjuk dari Yang Maha Esa.

Bagi anda yang kebetulan mengalami PHK dan belum berhasil mendapatkan pekerjaan, saran-saran berikut ini mungkin dapat membantu anda untuk tetap percaya diri dan tidak mudah putus asa dalam mencari pekerjaan:

1. Kenali diri anda dengan seksama sebelum mempromosikan diri. Cobalah bertanya pada diri sendiri:

* Apa sebenarnya bakat saya?
* Jenis pekerjaan seperti apa yang cocok dengan pribadi saya?
* Apa keahlian dan ketrampilan yang saya miliki untuk menunjang pekerjaan saya nanti?

Dengan menjawab beberapa pertanyaan diatas maka anda akan lebih terfokus dalam mencari jenis pekerjaan dan akan semakin tinggi rasa percaya diri dalam menghadapi wawancara kerja.


2. Antisipasi emosi-emosi dan perasaan yang berkecamuk dalam diri anda. Kaget, panik, marah, kesal, sedih, hampa, tidak bisa tidur, pusing, depresi, sakit perut, dan beberapa symptom lainnya adalah suatu hal yang normal dialami seseorang ketika baru terkena PHK. Emosi-emosi dan perasaan tersebut akan berangsur-angsur hilang manakala anda sibuk melakukan tindakan yang positif dalam “memburu” pekerjaan baru.

3. Fokus pada hal-hal positif mengenai diri anda. Bangun rasa percaya diri dan sikap optimis anda dengan membaca atau mengingat kembali komentar-komentar positif yang pernah diberikan oleh orang lain ke anda. Ingat kembali hal-hal positif yang pernah dikatakan oleh teman kerja, atasan, atau pelanggan anda. Lihat kembali penghargaan atau prestasi yang pernah anda terima, baik dari perusahaan maupun prestasi sekolah dulu. Lakukan hal-hal ini sesering mungkin selama masa-masa anda mencari pekerjaan.

4. Persiapkan diri secara matang dalam menghadapi wawancara kerja. Wawancara kerja pada umumnya memuat berbagai pertanyaan dari si pewawancara sebagai berikut:


* Mengapa anda berhenti dari pekerjaan yang lama?
* Mengapa anda melamar pekerjaan ini?
* Apa saja tugas-tugas anda pada pekerjaan yang lalu?
* Apa sebenarnya yang anda harapkan dari perusahaan kami?
* Bagaimana suasana kerja yang ideal untuk pekerjaan ini menurut anda?
* Apa kelebihan anda?
* Apa kekurangan anda?
* Bagaimana anda menggambarkan diri anda?
* Apa yang anda harapkan dalam 5 (lima) tahun mendatang?

5. Persiapkan diri anda secara seksama untuk menjawab pertanyaan-pertanya an tersebut. Usahakan untuk mencari jawaban yang paling singkat tetapi langsung pada masalah (to the point). Bila diperlukan anda dapat melakukan “simulasi’ dengan teman anda untuk belajar merespon dengan tepat.


6. Jaga sikap positif anda. Sikap positif sangat vital dalam pencarian pekerjaan. Sekali anda membiarkan diri terlarut dalam kekecewaan, putus asa, dan pesimis maka akan sangat sulit bagi anda untuk melihat segala sesuatu secara jernih dan obyektif. Mungkin dalam hal ini kata-kata seperti “segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya’ sangat penting anda ingat. Bagaimanapun jeleknya suatu kejadian pasti ada hal-hal positif yang menyertainya. Bukankah kata orang bijak “kejadian adalah seperti koin yang memiliki dua sisi yang berbeda’. Jadi sangat tergantung seseorang melihat dari sisi yang mana.

7. Olahraga. Peribahasa yang mengatakan bahwa dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat mungkin sudah dipercaya oleh semua orang. Berbagai studi yang dilakukan menunjukkan bahwa orang-orang yang sering berolahraga memiliki energi fisik yang lebih banyak dan emosi yang relatif lebih sehat. Oleh karena itu ada baiknya anda melakukan olahraga yang menurut anda paling cocok untuk membuat badan anda menjadi segar. Jika dilakukan secara teratur olahraga dapat memperbaiki penampilan fisik, mempertajam kemampuan mental, mengurangi stress, mengurangi gangguan tidur, dan pada akhirnya dapat membuat seseorang mampu berfungsi secara efektif.

8. Tekankan pada hal-hal positif dalam diri dan perbaiki kelemahan anda. Lakukan apa yang sering disebut oleh para psikolog sebagai “Selective Perception”. Artinya berkonsentrasilah pada hal-hal positif dalam diri anda dan abaikan hal-hal negatif yang dapat merusak ketika anda berbicara dengan orang (recruiter) yang akan mempekerjakan anda. Mulailah dengan mengidentifikasi berbagai kelebihan yang anda miliki sebelum mulai wawancara. Buatlah catatan kecil tentang apa saja yang pernah anda lakukan dan berhasil di pekerjaan anda sebelumnya. Contoh: Saya berhasil menekan biaya produksi di divisi saya lebih dari 25% pada tahun ….; Saya berhasil membuat program IT yang menjadi standard perusahaan kami; Saya berhasil merancang program pelatihan dan pengembangan untuk seluruh divisi dalam perusahaan; Saya dapat berteman dengan siapa saja tanpa kesulitan, Saya selalu dipercaya oleh atasan, dll. Dengan melakukan hal ini maka akan sangat mudah bagi anda untuk menjawab pertanyaan tentang apa kelebihan anda yang dapat diandalkan jika nanti diterima bekerja.

Dari beberapa alternatif di atas mungkin ada yang anda rasa tidak cocok dengan diri anda. Selain itu mungkin masih banyak cara-cara lain yang jitu dalam menyikapi PHK. Semua itu terserah kepada anda, karena andalah yang paling tahu apa yang terbaik yang harus anda lakukan. Selamat mencoba, semoga bermanfaat untuk anda. (jp)

Awal Kesuksesan El Real
Los Galacticos Pertama

Salah satu alasan mengapa Real Madrid bisa menjadi tim tersukses di Piala/Liga Champion dengan koleksi sembilan gelar adalah keberhasilan mereka menjadi juara pada lima edisi pertama antara musim kompetisi 1955/56 sampai 1959/60.

Banyak yang bilang saat itu tingkat persaingan sepakbola di Eropa belum seketat sekarang. Madrid bisa menjadi juara lima kali berturut-turut karena ketika itu tidak ada tim yang sanggup mengimbangi kekuatan mereka.

Pernyataan itu benar, tapi tidak tepat 100%. Madrid memang tak punya lawan, tapi hanya karena mereka mempunyai skuad yang luar biasa. Para pesaing El Real juga klub-klub kuat, tapi mereka tidak sebaik Si Putih.

Adalah Santiago Bernabeu Yeste, Presiden Madrid pada 1945-1978 yang membuat Los Merengues begitu kuat. Sejak 1953, ia menggelar strategi merekrut pemain-pemain top dunia dan membangun tim pertama di dunia yang materinya terbentuk dari pemain-pemain multinasional.

Bisa dibilang Bernabeu membentuk Los Galacticos generasi pertama, yang kelak diulangi Florentino Perez pada awal era 2000-an. Bernabeu merekrut Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas, Francisco Gento, Hector Rial, Raymond Kopa, Jose Santamaria, Miguel Munoz, Amancio Amaro, Carlos Alonso Santillana, hingga Juan Gomez Juanito.

Di antara bintang-bintang ini, Di Stefano pantas mendapat kredit tersendiri. Dia termasuk pemain baru pertama Bernabeu dan selalu bermain dalam kesuksesan Los Blancos menjadi juara pada lima edisi pertama Piala Champion.

“Kehebatan Di Stefano adalah dengan keberadaannya, Anda seperti memiliki dua pemain di setiap posisi,” puji salah satu pemain yang pernah bermain bersama Di Stefano, Munoz. Di Stefano adalah salah satu alasan mengapa Madrid menjadi sebuah legenda di Piala/Liga Champion. (wid)

Rabu, 22 Oktober 2008

Marketing is How You Show Others


Marketing is How You Show Others How You Can Help Them, Including Selling Yourself for Jobs and Promotions
by Richard Stooker

Many people, especially including techies, look upon sales and marketing as disgustingly selfish.

Having been taught to be good girls and boys who take turns and do things because they're right, we don't want others to think of us as so nakedly self-interested. At best, some of us realize that sales and marketing are evils necessary to the functioning of a capitalistic system.

So when we hear that if we're seeking a job or a promotion we must "sell ourselves," we inwardly rebel. Few of us actually do a good job selling ourselves. Those who do get more and better jobs, more and better promotions and make more money.

And the rest of us consciously or unconsciously sneer at them for being "selfish."

The opposite is true.

"Selling ourselves" to others is the unselfish reaching out to other people, to show them how we can help them.

Because to simply assume that employers should be able to understand from our resumes how great we are is the true selfishness.

Good marketing brings the benefits of good products and services to the attention of people who need or want those products or services.

When you truly don't want to buy a new car, a car ad on TV is a signal to fix a snack.

When you want to buy a new car, you watch. You want to know which make and model best fills your needs and desires.

Assuming that a business is selling a good or service which is of true value to somebody, it is their duty to bring it to the attention of the people they can help.

Good sales and marketing is UNselfish, because to be effective it must center on the needs and desires of the people who want that product or service.

Bad (ineffective) marketing says, "We're a wonderful company and you should buy our product because it is so wonderful."

Good marketing (and by "good" I mean effective) says, "Our product is wonderful because it will help you do this, solve that problem, and feel good."

See the difference? Good marketing is centered on the customer and helping the customer solve a problem or meet a need or desire. Bad marketing is centered on the company and product.

Now, the product in bad marketing may actually be of high quality, maybe as much or more so than the competing product being sold through good marketing.

But bad marketing forces consumers to make the connection between the wonderful qualities of the product and how those qualities can help the consumer.

Many companies who market this way believe that it's the "job" of consumers to make the connections, to understand just why and how that wonderful product will help the consumer. Therefore, they're not only selfish, they're lazy.

They're not taking the final step to see things from the viewpoint of their potential customers.

Good marketing does as much as possible to show consumers that the product is wonderful because of how and why it can help consumers.

How does this apply to someone seeking a job?

When you want a job or promotion you're "selling" your skills and experience. Your resume is your ad.

Your "customer" is the human resources manager assigned to fill that job.

Most job seekers, whether techies or anybody else, think that their only duty is to provide a resume which shows they're qualified and to show up for the interview.

The manager in charge of hiring is supposed to read the resume, realize how wonderful the applicant is and hire them.

Most people write their resumes as bad marketing. They write how wonderful they are without explaining how they can help the company they're applying to.

They may well have wonderful degrees, wonderful certifications, and wonderful experience.

Many techies have the attitude that their technical education, skills and experience should be enough.

But if they'd write something that the human resources manager wants to read about how they will help the company, that's taking a step most people unconsciously sneer at it.

Because it's "sales and marketing." Sales and marketing is selfish -- everybody knows that without questioning it.

So they write only about themselves and not how they can help that prospective employer.

So it's the "selfish" person who takes the extra effort to use "sales and marketing" to explain how he or she can help the company who actually gets the job.

So everybody else can sneer at them.

And send their resumes to the next employer.

Belajar Index Berjangka


Ada 4 macam produk indeks yang sering diperdagangkan di perusahaan futures lokal. Diantaranya yakni : Hongkong Hangseng 33, Japanese Nikkei 225, Korean Kospi 200, United Stated Dow Jones.

Hongkong Hangseng 33

Index Hangseng merupakan index pasar saham di pasar Hongkong. Digunakan untuk mencatat perubahan pasar setiap harinya.

HSI mulai diperdagangkan pada 24 November 1969, dibentuk dan diawasi oleh HSI Service Limited, yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Bank Hangseng, Bank kedua terbesar di Hongkong.

Japanese Nikkei 225

Index Nikkei merupakan saham asia yang paling diperhatikan oleh masyarakat. Pergerakan index nikkei diberitakan setiap hari oleh koran Nihon Keizai Shinbun sejak 1971 dan merupakan salah satu faktor yang membuat Yen kuat. Setiap komponen yang didalamnya diseleksi setahun sekali.

Korean Kospi 200

Korea Composite Stock Price Index (KOSPI) merupakan index dari seluruh perusahaan yang diperdagangkan di Bursa Efek Korea. Index merupakan pasar yang didasarkan oleh pergerakan pasar. Indeks ini diperkenalkan pada tahun 1983. Nilai dasar 100 saham ditetapkan pada tanggal 4 Januari 1980.

United State Dow Jones


Dow Jones Industrial Average (DJIA) merupakan salah satu dari index saham yang diciptakan oleh Wall Street Journal dan pendiri Dow Jones, Charles Dow. Dow mengeluarkan index sebagai care untuk meningkatkan pasar saham industri Amerika. Dow Jones merupakan Dasara index tertua di Amerika

Penundaan Sanksi Atletico
Bukan Zorro atau Tarzan

UEFA telah menyatakan penundaan sanksi bagi Atletico Madrid untuk tidak boleh menggelar laga di Stadion Vicente Calderon. Hal ini mengundang reaksi keras dari Olympique Marseille yang menyebut aparat keamanan sipil dan polisi yang dikerahkan Atletico bersikap amatir.

Chairman OM, Pape Diouf, pada akhir pekan lalu mengatakan bahwa Atletico Madrid layak dihukum. Mereka bukan saja lalai dalam memastikan keamanan para suporter Les Marseilles, tapi juga telah menyebar berita bohong.

Saat Atletico menang 2-1 di Grup D atas OM awal bulan ini, kubu tuan rumah memang menyebut polisi kewalahan menertibkan pendukung OM. Mereka mengatakan suporter asal Prancis bersikap anarkistis setelah melihat sulit bagi klubnya untuk mengimbangi Atletico.

“Bila benar memang demikian, seharusnya polisi menahan 15-20 orang, bukan hanya mengurung satu orang pendukung kami,” kata Diouf pada televisi Spanyol, La Sexta. “Satu orang tidak bisa menimbulkan banyak masalah di sana, kecuali jika ia Tarzan atau Zorro.”

Ungkapan sarkasme dari petinggi Marseille tersebut sejalan dengan niatnya untuk meminta UEFA memeriksa pihak kepolisian di Madrid.

“Pendukung kami hanya korban kekerasan polisi. Perilaku mereka sebelumnya tidak pernah memaksa polisi Prancis melakukan pemukulan dengan tongkat secara membabi buta,” tambahnya lagi.

Hearing pihak Atletico di markas UEFA akan dilakukan pada 31 Oktober dan Diouf berharap keputusan untuk menggelar 2-3 partai usiran bagi sang perwakilan La Liga di level Eropa tetap dijatuhkan.

Untuk sementara, pendapat kubu Marseille memang perlu diperhatikan, namun harus dicatat juga bahwa pendukung OM di Prancis termasuk sering menyulut keributan, terutama bila Les Marseilles berjumpa Paris Saint Germain di Ligue 1.

Bila OM bertandang ke Paris, pihak kepolisian kerap terpaksa mengawal bus suporter dan bus pemain sejak batas kota untuk menghindari timbulnya kerusuhan di jalanan. Demikian pula sebaliknya bila para suporter Les Parisien bertandang ke Velodrome.

Selama ini kerusuhan relatif jarang terjadi di Prancis karena aparat keamanan lokal bersikap lebih sigap ketimbang yang dilakukan pihak kepolisian di Spanyol, khususnya di Madrid. So, bijaksanalah, UEFA! (toen)

Senin, 20 Oktober 2008

KEJUJURAN


KEJUJURAN TETAPLAH KEJUJURAN YANG TAK DAPAT DIUKUR
DENGAN MATERI BERAPAPUN

Siapapun dari kita sering berucap pentingnya harga sebuah sebuah kejujuran dalam hidup,
bukan! Hmmm, Tetapi kenyataan tidaklah demikian, kata-kata yang terucap tidaklah semudah
tindakan. Mengapa demikian ? karena memang kata 'jujur' mengandung konsekuensi yang
harus kita pikul. Lihatlah ada seorang pedagang terpaksa menghempaskan kejujuran di saat
kesempatan emas dan keuntungan berlimpah di depan mata bila mesti berkata dengan jujur,
seorang teman rela mengorbankan persahabatannya dengan tidak ketidakkejujuran demi
kepentingan egonya, atau bahkan yang lebih menyedihkan seorang guru yang selalu mengajarkan
segala ilmu kebaikan kepada semua muridnya menutupi segala kebusukan perbuatannya dengan
melempar batu sembunyi tangan.

Ah, kita memang tidak sedang bermain-main dengan kata, tetapi perlu lah kita pahami dengan
baik, kejujuran tetaplah kejujuran yang tidak dapat kita sejajarkan dengan materi berapapun
karena memang kejujuran tidak bisa dihitung dan tidak berhubungan dengan untung rugi, bukan!
Meski terasa pahit, kejujuran tetaplah jauh lebih mulia ketimbang pendustaan. Tak salah bila
orang bijak mengatakan selalu lancung ke ujian seumur hidup orang tidak akan percaya.

Indahnya sebuah persabahatan musnah melebur bersama sirnanya sebuah kepercayaan yang
dibangun dan lekangnya sebuah kejujuran. Jadi memang kejujuran dan dusta adalah sebuah PILIHAN.
Yang pasti sampaikan kapanpun tak akan memampukan kita menipu diri sendiri karena kristal hati
nurani tak akan mampu ditembus oleh cahaya gelap pendustaan. (my)

Identifying Top Salespeople
By: Brian Tracy

Here's a key point. A higher order value always takes precedence over a lower order value. If you place one value higher than another, and you have to choose between doing one thing or doing another, you will always select the action that is consistent with your higher value. Once you are clear about your order of values, decision making becomes much easier. How can you determine what your values really are? Simple. Just observe your behaviors, especially the things you do when you are under pressure. Your values are always expressed in your actions. It is not what you say, or wish, or hope, or intend that expresses your true values.

It is only what you do. If you want to know what your values are at this moment, you can examine your recent past and notice the choices you made when you could have gone one way or another. Your choices, and your subsequent actions, demonstrated to yourself and others what was of greatest value and importance to you. Here is an example. Imagine you have two people who have the same three values. The values are family, health and career success. The only difference between these two people is the order of importance that they placed on these values, their priorities.

The first person, Bill, says that, "My family comes first, my health is second and career success is third." Tom, on the other hand, has the same values, but he says, "Career success comes first for me, then my family, and then my health." Would there be a difference in character and personality between these two people? Would there be a small difference or a large difference? Which of these two people would you like to get to know and become friends with? Would you be able to tell these two people apart in conversation? Which one do you think you would like and trust more? The answers to these questions are clear. The person with the higher values in a better order of priority will invariably be a better person than the person whose values are in a different order.

Your choice of values determines the quality of your character. When you select values such as integrity, love, courage, honesty, excellence or responsibility, and you live your life consistent with those values, every hour of every day, you actually become a superior person. It is your values that determine the kind of person you really are. Now, here are two things you can do immediately to put these ideas into action. First, think about how you behave, how you choose, whenever you are under pressure. Remember, it is only what you do, your actions, that tell who you really are. Second, observe how other people around you behave when they are forced to choose. You will only be compatible with people whose values are similar to yours. What are they?

About Brian Tracy

Brian Tracy is a leading authority on personal and business success. As Chairman and CEO of Brian Tracy International


MENINGKATKAN SIKAP POSITIF





Oleh Eko Jalu Santoso, Weblog: www.EkoJaluSantoso. com





Kita mengetahui bahwa memiliki sikap positif merupakan unsur penting bagi keberhasilan dan kesuksesan hidup seseorang. Apakah sikap positif ini bisa ditingkatkan dalam diri kita ? Bagaimana meningkatkan sikap positif dalam diri kita ? Apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sikap positif seseorang ?



Meskipun memerlukan waktu yang cukup lama, namun sikap positif dalam diri tentu saja dapat terus dilatih dan ditingkatkan lagi. Kuncinya adalah kita dapat memahami berbagai factor yang dapat mendukung peningkatan sikap positif dalam diri kita. Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi sikap positif seseorang ?



Pertama adalah faktor spiritual.

Kekuatan spiritual disini artinya adalah kemampuan yang bersumber dari suara hati terdalam, seperti kemampuan untuk bersyukur, misalnya. Kekuatan spiritual berpegaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melihat sisi positif dari setiap kejadian yang datang. Dengan meningkatkan kekayaan spiritual, seseorang akan mampu mengartikan semua fenomena hidup yang dating kepadanya, menganggapnya sebagai pelajaran berharga, yang dapat membangkitkan nilai lebih dalam dirinya.



Manusia yang memiliki kekayaan spiritual, akan lebih mudah mengontrol terhadap sikap dirinya. Sehingga orang itu tetap memiliki tekad yang kuat untuk berusaha dengan cara-cara yang positif tanpa kenal putus asa, karena meyakini adanya kekuatan dari Allah. Kekuatan spiritual dapat mengarahkan pikiran dan sikap seseorang kepada hal-hal yang positif sesuai nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, tidak dihantui oleh rasa tidak percaya diri, malas, dan sikap negatif lainnya. Maka teruslah melatih dan memperkaya pemahan nilai-nilai spiritualitas dalam hidup ini.



Kedua adalah faktor impian.

Seseorang yang selalu dapat memperbarui impian akan cenderung bersikap berani, rajin, percaya diri atau bersikap lebih positif. Impian yang besar akan menjadikan seseorang berusaha mengadaptasikan sikap mereka menjadi penuh tenggang rasa, jujur, hormat, tegas, insiatif, berjiwa besar dan lain sebagainya. Sikap-sikap itu adalah intisariud ari sikap positif dalam diri. Orang yang mempunyai impian akan selalu dapat mengendalikan sikap dengan pikirannya menjadi lebih optimis dan positif..



Oleh sebab itu, letakkan satu standar impian yang lebih tinggi, sehingga potensi diri kita dapat ditingkatkan. William Faulkner, seorang novelis peraih hadiah nobel, mengatakan, "Impikan dan bidiklah selalu lebih tinggi daripada yang Anda sanggupi. Janganlah hanya bercita- cita lebih baik daripada pendahulu atau sesama Anda. Cobalah menjadi lebih baik daripada diri sendiri." Artinya, kita senantiasa memerlukan impian sebagai kontrol terhadap sikap dan mencapai kemajuan hidup yang berarti.



Ketiga adalah antusiasme.

Elbert Hubbart menegaskan, "Nothing great has ever been accomplished without enthusiasm. – Tidak ada satupun kemajuan menakjubkan untuk diraih tanpa antusiasme." Antusiasme artinya semangat. Disaat kita sedang bersemangat, pada saat itulah Tuhan senantiasa mendampingi kita. Dengan semangat itulah manusia menciptakan impian yang lebih besar, berusaha memperoleh kemajuan-kemajuan serta mencapai sukses



Semangat dapat terus ditingkatkan dengan mengisi setiap detik waktu kita dengan kebiasaan-kebiasaan yang positif dan konstruktif. Kebiasaan-kebiasaan positif itu diantaranya mendengar, membaca, berbicara dan bergaul dengan orang yang positif. Jika seseorang dapat mempertahankan dan meningkatkan semangat hidup dalam dirinya, maka sikapnya menjadi lebih terarah hingga dapat menikmati hal-hal yang benar-benar menakjubkan di dunia ini.



Demikianlah bahwa sikap positif sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diatas. Dengan kita memahaminya, diharapkan Anda dapat meningkatkan dan memilihara sikap positif dalam hidup ini. Karena sikap positif sangat mempengaruhi seseorang untuk dapat mengekplorasi seluruh potensi diri dan meraih kesuksesan maupun kebahagiaan. Selamat berjuang !

Orang gagal selalu mencari jalan untuk menghindari, sementara orang sukses
mencari jalan bagaimana menghindari untuk menginginkan. (Jim Rohn)

Sebagian besar orang yang telah gagal dalam hidupnya karena telah
menumpahkan sebagian besar perhatiannya pada sebagian ebsar hal-hal
yang kecil yang kurang mempunyai arti bagi hidupnya. (Anthony Robbins)

Meskipun Anda bebas memilih tindakan, tetapi Anda tidak bebas untuk
memilih konsekuensi tindakan (Dr. Stephen R. Covey)

Jangan pernah mengabulkan mentalitas coba-coba. Lakukanlah sesuatu
atau tidak melakukan sama sekali. Keberhasilan tidak memihak pada filsafat
coba-coba (YODA)

24 Things To Always
Remember

Your presence is a present to the world.
You are unique and one of a kind.
Your life can be what you want it to be.
Take the days just one at a time.

Count your blessings, not your troubles.
You will make it through whatever comes along.
Within you are so many answers.
Understand, have courage, be strong.

Do not put limits on yourself.
So many dreams are waiting to be realized.
Decisions are too important to leave to chance.
Reach for your peak, your goal and you prize.

Nothing wastes more energy than worrying.
The longer one carries a problem the heavier it gets.
Do not take things too seriously.
Live a life of serenity, not a life of regrets.

Remember that a little love goes a long way.
Remember that a lot … goes forever.
Remember that friendship is a wise investment.
Life’s treasure are people together.

Realize that it is never too late.
Do ordinary things in an extraordinary way.
Have hearth and hope and happiness.
Take the time to wish upon a start.

AND DO NOT EVER FORGET ….
FOR EVEN A DAY
HOW VERY SPECIAL YOU ARE !

How To Conquer Public Speaking Fear



By Morton C. Orman, M.D.

Public speaking is a common source of stress for everyone. Many of us would like to avoid this problem entirely, but this is hard to do.Whether we work alone or with large numbers of people, eventually we will need to speak in public to get certain tasks accomplished. And if we want to be leaders or achieve anything meaningful in our lives, we will often needto speak to groups, large and small, to be successful.

The truth about public speaking, however, is IT DOES NOT HAVE TO BE STRESSFUL! If you correctly understand
the hidden causes of public speaking stress, and if you keep just a few key principles in mind, speaking in public
will soon become an invigorating and satisfying experience for you.

Purpose Of This Report

The purpose of this Special Report is to help you overcome the fear of public speaking. It begins by discussing
ten key principles to always keep in mind. If you approach any problem in life with the right starting principles,
everything else will fall into place. On the other hand, if you start with the wrong guiding principles, you can try
all you want, but there is little chance you'll improve.

This Report also reveals eleven "hidden" causes of public speaking stress. I have summarized these eleven
causes, along with the ten key principles, at the end of this Report, so you can easily review them.

Key Principles

Principle #1--Speaking in Public is NOT Inherently Stressful

Most of us believe parts of life are inherently stressful. In fact, most of us have been taught to believe that life
as a whole is very stressful!

To deal with any type of stress effectively, you first must understand that life itself, including public speaking, is
NOT inherently stressful. Thousands of human beings have learned to speak in front of groups with little or no
stress at all. Many of these people were initially terrified to speak in public. Their knees would shake, their voices
would tremble, their thoughts would become jumbled . . . you know the rest. Yet they learned to eliminate their
fear of public speaking completely.

You are no more or less human than they are. If they can conquer the fear of public speaking, so can you! It just
takes the right guiding principles, the right understanding, and the right plan of action to make this goal a reality.

Believe me, it's not difficult. I'm a good example of someone who conquered the fear of public speaking. And while
I didn't do it overnight, it wasn't difficult. All it took was approaching the problem in the right way.

Principle #2--You Don't have to be Brilliant or Perfect to Succeed

Many of us have observed public speakers and thought to ourselves "Wow, I could never be that smart, calm,
witty, entertaining, polished . . . or whatever." Well, I've got news for you-- you don't have to be brilliant, witty,
or perfect to succeed. That is not what public speaking is all about. I know it may look that way, but it's not.
You can be average. You can be below average. You can make mistakes, get tongue-tied, or forget whole
segments of your talk. You can even tell no jokes at all and still be successful.

It all depends on how you, and your audience, define "success." Believe me, your audience doesn't expect
perfection. I used to think most audiences did, but I was wrong! Before I discovered this, I used to put incredible
pressure on myself to deliver a perfect performance. I worked for days to prepare a talk. I stayed up nights
worrying about making mistakes. I spent hours and hours rehearsing what I was going to say. And you know
what? All this did was make me even more anxious! The more perfect I tried to be, the worse I did! It was all very
disheartening (not to mention unnecessary) .

The essence of public speaking is this: give your audience something of value. That's all there is to it. If people in
your audience walk away with something (anything) of value, they will consider you a success. If they walk away
feeling better about themselves, feeling better about some job they have to do, they will consider you a success.
If they walk away feeling happy or entertained, they will consider their time with you worthwhile.

Even if you pass out, get tongue-tied, or say something stupid during your talk . . . they won't care! As long as
they get something of value, they will be thankful.

They don't even need to feel good to consider you a success. If you criticize people, or if you stir them up to
ultimately benefit them, they might still appreciate you, even though you didn't make them feel good at the time.

Principle #3--All You Need is Two or Three Main Points

You don't have to deliver mountains of facts or details to give your audience what they truly want. Many studies
have shown that people remember very few of the facts or information speakers convey. While you may choose
to include lots of facts and information, you only need to make two or three main points to have your talk be
successful. You can even have your whole talk be about only one key point, if you wish.

When I first began speaking in public during medical school (kicking, screaming, and quivering all the way), I
wasn't aware of this simple principle. I wrongly believed that my audience wanted encyclopedic knowledge from
me, which of course I didn't have. So I tried to research my topic thoroughly and deliver as much worldly wisdom
as possible.

Boy was that exhausting! It was also boring for my audience to suffer through.

Later, when I began giving public seminars on how to cope with stress, I spent hours each week typing a
twenty-page script to read from, so I wouldn't forget any important tidbit.

As time went on, I gradually learned that this degree of complexity wasn't needed. As a result, the length of my
discussion notes gradually declined. My twenty-page typed manuscript gave way to a five-page detailed outline.
Then, I replaced my outline with ten or fifteen index cards. Eventually, I could conduct a full two-hour seminar
with only one 3X5 index card (containing my two or three key points) to support me!

As long as I focused on these two or three key points, I was able to speak at length about them by naturally
drawing upon my past experiences and knowledge.

Remember, all your audience wants from you is to walk away with one or two key points that will make a
difference to them. If you structure your talks to deliver this result, you can avoid lots of complexity that isn't
really needed. This also should make your job as a speaker much easier, and more fun too!

Principle #4--You also Need a Purpose That is Right for the Task

This principle is very important . . . so please listen up. One big mistake people make when they speak in public is
they have the wrong purpose in mind. Often, they have no specific purpose in mind, but the one that is operating
within them unconsciously causes a whole lot of unnecessary stress and anxiety.

This is a prime example of what I call a "hidden cause" of public speaking stress. When I first started speaking in
public, I thought my purpose was to get everyone in the audience to approve of me. I mistakenly thought that
this was what good public speakers try to do. I wasn't consciously aware of this purpose, nor how foolish it was,
but it was there nonetheless.

Because of this hidden purpose, I felt I needed to be absolutely perfect and brilliant to win my audience's
unanimous approval. If just one person in the audience disapproved . . . my goose was cooked! If one person left
early, if anyone fell asleep, or if someone looked uninterested in what I was saying . . . I was defeated!

This was very anxiety-producing.

Later, after I became aware of this stress-producing purpose, I was able to look at it honestly and realize how
foolish it was. How many public speakers get 100% approval from their audiences? The answer is zero!

The truth about public speaking is no matter how good a job you do . . . someone is going to disapprove of either
you or your argument. That is just human nature. In a large group of people, there will always be a diversity of
opinions, judgements, and reactions. Some will be positive, others will be negative.

There is no rhyme or reason to it. If you do a lousy job, some people will sympathize with you and feel for you,
while others will critique you harshly. If you do a fantastic job, someone will resent your ability and might
disapprove of you on that basis alone. Some people will leave early because of an emergency. Some will fall
asleep because they were up all night taking care of a sick child. Therefore, it's foolish and unrealistic to attempt
to get everyone in your audience to think well of you.

More importantly, it's the wrong type of purpose to adopt in the first place.

Remember, the essence of public speaking is to give your audience something of value. The operative word here
is GIVE not GET! The purpose of public speaking is not for you to get something (approval, fame, respect, sales,
clients, etc.) from your audience. It is to give something useful to your audience.

Yes, if you do this well, you'll gain notoriety, respect, sales, and new clients. But this should never be your
organizing purpose going in. If you focus on giving as much as you can to your audience, you will then be aligned
with the truth about public speaking. You also will avoid one of the biggest pitfalls that cause people to
experience public speaking anxiety.

Giving of yourself is rarely stressful or anxiety producing. When I give a talk to a group of people, I often imagine
myself handing out $1,000 bills to everyone in the audience. I try to give them at least that much value. If a few
individuals in the group reject this "gift," it no longer surprises or demoralizes me. I no longer expect anything
different.

Principle #5--The Best Way to Succeed is Not to consider Yourself a Public Speaker!

While it may seem paradoxical, the best way to succeed as a public speaker is not to consider yourself a public
speaker at all.

Many of us have distorted, exaggerated views of what successful public speakers do. We often assume that to
be successful ourselves, we must strive very hard to bring forth certain idealistic qualities we presently lack.

Consequently, we struggle desperately to emulate those personal characteristics of other speakers which we
wrongly believe are responsible for their public speaking success.

In other words, we try to become someone other than ourselves! We try to be a public speaker, whatever that
image means to us.

The truth about public speaking is that most successful speakers got that way by doing just the opposite! They
didn't try to be like somebody else. They just gave themselves permission to be themselves in front of other
people. And much to their surprise, they discovered how much fun they could have doing something most other
people dread.

The secret, then, to their success is that they didn't try to become public speakers!

You and I can do the very same thing. No matter what type of person we are, or what skills and talents we
possess, we can stand up in front of others and fully be ourselves.

I now love to speak in public. Why? Because it's one of the few times I give myself permission to fully be myself in
the presence of others. I can be bold, compassionate, silly, informative, helpful, witty . . . anything I want. I can
tell jokes, which I don't normally do, tell humorous or poignant stories, or do anything else that feels natural in
the moment.

As a result, I make much better contact with my audience. I don't drone on and on about some uninteresting
subject. I'm alive, I'm energized, I'm fully invested in everything I say and do. That's another gift I can give my
audience. It also allows me to tell when I've gone on too long or when the people who are listening to me begin
to drift away.

When you really get good at being yourself in front of others, you can even stand up in front of a group of people
without any idea how you're going to get across your two or three main points. Sometimes, I enjoy throwing
myself in front of a group without knowing specifically what I'm going to say. I just focus on my three main points
and remember I'm there to give people something of value. Then I give myself permission to say whatever comes
to mind. In many instances, I say things I've never said before! They just come out of me spontaneously while
"being with my audience." Sometimes, I'm truly amazed at some of the things I end up saying or doing.

And you know what? People in the audience often come up to me afterward and say, "you were great, I wish I
had the confidence to give public talks like you." That's exactly the wrong way to think. Don't try to give talks
the way I do, or the way anyone else does. Just go out there, armed with a little knowledge and a few key
points, and be yourself. Everything else will usually work out. It might be a little rough the first few times you try
it, but after a while, you'll settle into some very successful ways of being that will be all yours and no one else's.

Principle #6--Humility and Humor Can Go a Long Way

While each person will eventually find his or her style of public speaking, certain maneuvers can be used by
almost everyone. Two of these, humility and humor, can go a long way to making your talks more enjoyable and
entertaining for your audience.

Humor is well understood by most of us, so little needs to be said about it here. If being humorous feels
comfortable for you, or if it fits your speaking situation, go for it. It usually works, even if you don't do it
perfectly.

By humility, I mean standing up in front of others and sharing some of your own human frailties, weaknesses, and
mistakes. We all have weaknesses, you know, and when you stand up in front of others and show that you're not
afraid to admit yours, you create a safe, intimate climate where others can acknowledge their personal
shortcomings as well.

Being humble in front of others makes you more credible, more believable, and paradoxically more respected.
People can connect with you more easily. You become "one of them" instead of a remote expert who's head and
shoulders above them (which you really aren't). It also sets a tone of honesty and self-acceptance, which people
recognize in themselves as well. Don't try to do this, however, if it's not authentic for you. True humility is easily
distinguished from the pretense of acting humble. If you pretend, your audience will perceive this and lose
respect for you.

Often, humor and humility can be combined very effectively. Telling humorous stories about yourself, or using
your own personal failings to demonstrate some point you are trying to make, can be both entertaining and
illuminating.

For example, if you get nervous when you stand up to speak in front of a group, or if you suddenly feel nervous
during the middle of your talk, don't hide this fact from your audience (they can tell anyway). Be real--and
humble--by acknowledging your fear openly and honestly. Ask your audience for forgiveness while you take a few
moments to collect yourself.

Or, you can start your talk with a humorous story that produces the same effect. For example, I've seen
speakers begin their talks by saying "What lies at the bottom of the ocean and shakes all over?" Answer: a
nervous wreck! This is a very endearing strategy that also helps relieve speaking anxiety.

Principle #7--When You Speak in Public, Nothing "Bad" Can Ever Happen!

One thing that adds to the fear of public speaking is the dread people have that something awful, terrible, or
publicly humiliating will happen to them.

What if I pass out from nervous exhaustion? What if I forget everything I intended to say and am left standing
there, totally speechless? What if the audience hates me and begins throwing things at me?

What if they all get up and leave after the first ten minutes? What if they snipe at me with harsh questions or
comments once I'm done? What if someone in the audience tries to turn the group against me?

These could be embarrassing if they occurred. Fortunately, most of them don't happen.

Even when they do, it's useful to have a strategy in mind that has them turn out perfect. Sound difficult? It's not
really.

I've found that most of the "negative" things that happen when I'm speaking can be handled by keeping this one
simple, but powerful, principle in mind: everything that happens can be used to my advantage.

If people get up and start to head for the door, I can stop what I'm doing and ask for feedback. Was there
something about my topic, my style, or my manner of presentation that was offensive to them? Were they simply
in the wrong room at the start and didn't know it? Did someone misinform them about what my talk was going to
cover?

Regardless of what they tell me, just stopping to deal with this situation, honestly and humbly, will often score
points with my remaining audience. It also will give me the opportunity to learn how I am affecting people, so I
can make any corrections that might be needed.

Even if everyone walked out and refused to give me a reason, I could ultimately find ways to benefit from this
experience. At the very least, I could use it as the opening for my next presentation. "You know, I gave this
same talk the other day and everyone in the audience walked out in the first ten minutes. That's my current
record, so I guess we'll just have to see what happens today."

The same principle holds for dealing with hecklers or people who ask harsh or confrontational questions. If you
assume that nothing truly bad can ever happen when you're speaking in public, you'll be amazed how well you can
relate to such events and how often you can indeed use them to your advantage.

And once you've successfully used this principle many times, your anxiety about public speaking will almost
completely go away. You'll know it will be virtually impossible for anything "bad" to happen that you won't be able
to handle. That is a very comforting thought.

TIP: If you want a good role model for developing this skill, rent a video tape of Johnny Carson's opening
monologues. He was a master at using this principle. No matter how his audience responded, Carson was always
ready to use their response, positive or negative, to make another joke. He simply couldn't lose, even if the
material his writers provided him was rotten.

Principle #8--You Don't Have to Control the Behavior of Your Audience

To succeed as a public speaker, you don't have to control the behavior of your audience. There are certain
things you do need to control--your own thoughts, your preparation, arrangements for audio-visual aids, how the
room is laid out--but one thing you don't have to control is your audience. They will do whatever they do, and
whatever they do will usually be "perfect."

If people are fidgety or restless, don't try to control this. If someone is talking to a neighbor, or reading the
newspaper, or falling asleep, leave them alone. If people look like they aren't paying attention, refrain from
chastising them. Unless someone is being intentionally disruptive, there is very little you need to control.

Thinking you need to change or control other people is a hidden cause of stress in many areas of life. This is just
as true for relating to a group as it is for relating to your friends, spouse, children, or other acquaintances.

Principle #9--In General, the More You Prepare, the Worse You Will Do

Preparation is useful for any public appearance. How you prepare, however, and how much time you need to
spend are other matters entirely.

Many of the errors in thinking we've discussed so far often creep in to people's strategies for preparation. If you
have the wrong focus (i.e., purpose), if you try to do too much, if you want everyone to applaud your every
word, if you fear something bad might happen or you might make a minor mistake, then you can easily drive
yourself crazy trying to overprepare your talk. In these instances, the more effort you put in, the worse you
probably will do.

On the other hand, if you know your subject well, or if you've spoken about it many times before, you may only
need a few minutes to prepare sufficiently. All you might need is to remind yourself of the two or three key points
you want to make, along with several good examples and supporting facts and . . . BOOM you're ready to go.

Overpreparation usually means you either don't know your subject well or you do, but you don't feel confident
about your ability to speak about it in public. In the former instance, you'll need to do some extra research. In
the latter, you'll need to develop trust in your natural ability to speak successfully. The only way to do this is to
put yourself in the spotlight, over and over again.

Go out and solicit opportunities to speak on your subject in public. Offer to speak free or for a small fee, enough
to cover your expenses. If you have something of value to tell others, keep getting in front of people and deliver
it. In no time at all, you'll gain confidence. You'll also begin to respect the natural public speaker/communicato r
within you.

Principle #10--Your Audience Truly Wants You to Succeed

The last principle to remember is that your audience truly wants you to succeed. Most of them are scared to
death of public speaking, just like you. They know the risk of embarrassment, humiliation, and failure you take
every time you present yourself in public. They feel for you. They will admire your courage. And they will be on
your side, no matter what happens.

This means that most audiences are truly forgiving. While a slip of the tongue or a mistake of any kind might seem
a big deal to you, it's not very meaningful or important to your audience. Their judgements and appraisals will
usually be much more lenient than yours. It's useful to remind yourself of this point, especially when you think
you've performed poorly.

Review Of 11 Hidden Causes Of Public Speaking Stress

1. Thinking that public speaking is inherently stressful (it's not).
2. Thinking you need to be brilliant or perfect to succeed (you don't).
3. Trying to impart too much information or cover too many points in a short presentation.
4. Having the wrong purpose in mind (to get rather than to give/contribute) .
5. Trying to please everyone (this is unrealistic) .
6. Trying to emulate other speakers (very difficult) rather than simply being yourself (very easy).
7. Failing to be personally revealing and humble.
8. Being fearful of potential negative outcomes (they almost never occur and even when they do, you can use
them to your advantage).
9. Trying to control the wrong things (e.g., the behavior of your audience).
10. Spending too much time overpreparing (instead of developing confidence and trust in your natural ability to
succeed).
11. Thinking your audience will be as critical of your performance as you might be.

Review of 10 Key Principles To Always Keep In Mind

#1---Speaking in Public is NOT Inherently Stressful
#2---You Don't Have to be Brilliant or Perfect to Succeed
#3---All You Need is Two or Three Main Points
#4---You also Need a Purpose That is Right for the Task
#5---The Best Way to Succeed is NOT to Consider Yourself a Public Speaker!
#6---Humility and Humor Can Go a Long Way
#7---When You Speak in Public, Nothing "Bad" Can Ever Happen!
#8---You Don't Have to Control the Behavior of Your Audience
#9---In General, the More You Prepare, the Worse You Will Do
#10--Your Audience Truly Wants You to Succeed

That's all there is to it. Just look for these eleven hidden causes and keep the ten corresponding principles in
mind.

Of course, you will need to practice. It's extremely easy to forget the ten key principles. No matter how often
you review them, you'll instinctively fall back into your old stress-producing patterns.

What is the best way to practice? Go out and speak in public. Join a local Toastmasters Group if you like. Take a
community college course in public speaking. Better yet, offer to teach a course about something you know very
well.

Just keep throwing yourself into the arena, and in no time at all, your skill, confidence, and natural ability will
come to the surface.

And remember, if you get up in front of a group and find this stressful, it only means you forgot the truth about
what public speaking is all about. Go back and review this Report. Find out what you did wrong or what you didn't
remember. Then go back out and speak again until you get it right. It may take time, but the long-term rewards will be impressive.

A Most Important Lesson


During my second month of nursing school, our professor gave us a pop quiz. I was a conscientious student and had breezed through the questions, until I read the last one: "What is the first name of the woman who cleans the school?" Surely, this was some kind of joke.

I had seen the cleaning woman several times. She was tall, dark-haired and in her 50s, but how would I know her name? I handed in my paper, leaving the last question blank.

Just before class ended, one student asked if the last question would count toward our quiz grade. "Absolutely," said the professor. "In your careers, you will meet many people. All are significant. They deserve your attention and care, even if all you do is smile and say 'hello'." "I've never forgotten that lesson. I also learned her name was Dorothy.

Jenis-jenis makanan antikolesterol

Untuk mengendalikan kolesterol agar tidak tinggi sebenarnya bisa dengan metode terapi nutrisi, yaitu mengonsumsi makanan antikolesterol yang cukup banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Anda bisa mengganti lemak jahat dengan lemak sehat. Mengonsumsi makanan nabati bisa meningkatkan asupan protein nabati yang berkhasiat menurunkan kadar kolesterol berlebih. Ingin tahu makanan apa saja yang bersifat antikolesterol? Simak tips di bawah ini yang diambil dari berbagai sumber.

1. Jamur. Kaya kromium, mineral yang membantu memecah lemak menjadi senyawa sederhana, yakni asam-asam lemak. Aktivitas ini membantu menyusutkan kadar lemak jahat (LDL), dan meningkatkan kadar lemak baik (HDL). Sumber lain kromium adalah kacang-kacangan, seperti kenari, kacang tanah, kacang mete, dan kacang almond.

2. Kwaci tawar. Selama ini kuaci kita sepelekan, padahal berlimpah zat tembaga. Pola makan rendah asupan tembaga berkaitan dengan naiknya kadar kolesterol jahat LDL, dan terbatasnya kolesterol baik HDL. Seringlah makan kwaci, terutama yang tawar, baik kuaci biji labu maupun biji bunga matahari.

3. Jeruk nipis. Di antara beragam jenis jeruk, jeruk nipis atau jeruk lemon adalah yang paling banyak mengandung flavonoid. Senyawa ini mampu menghambat produkdi LDL berlebihan sehingga mengurangi risiko serangan jantung. Flavonoid bisa pula diperoleh dalam teh, brokoli, tomat, kedelai, bawang berlapis-lapis seperti bawang merah dan bawang bombai serta delima.

4. Apel. Serat larut yang banyak terdapat dalam apel merupakan sumber betaglukan (beta glucan). Di dalam tubuh, betaglukan ikut berperan mengontrol penyerapan dan produksi kolesterol. Sumber lain pepaya, buah-buahan yang dimakan bersama kulitnya (apel dan pir), wortel, kapri dan sayuran polong-polongan lain pada umumnya (buncis, kecipir, dan kacang panjang), polong-polongan kering (kacang hijau, kacang merah, dan kacang tolo), serta beras merah.

5. Ikan tuna. Termasuk sumber asam lemak omega-3 yang populer, selain salmon dan makarel. Omega-3 secara khusus melindungi tubuh terhadap kenaikan kadar kolesterol jahat LDL.

6. Jambu biji lokal merah. Sama seperti semangka merah dan tomat merah, jambu biji lokal merah kaya likopen. Likopen ikut berperan dalam mengendalikan produksi kolesterol.

7. Alpukat. Asam pantotenat merupakan senyawa paling menonjol dalam alpukat yang berperan meredam kadar kolesterol darah.

8. Tempe. Makanan rakyat ini berlimpah senyawa fitokimiawi isoflavon yang bersifat antikolesterol. Banyak juga terdapat dalam tahu dan susu kedelai.

9. Kacang tanah. Kacang kulit, yakni kacang tanah berkulit yang dipanggang dalam oven. Camilan ini berlimpah lemak sehat sekaligus kaya vitamin E, yang bisa 'mengunci' radikal bebas agar tidak merusak kolesterol jahat LDL, sehingga pembentukan plak di dinding pembuluh darah dapat dihindari dan mencegah serangan jantung.

10. Mangga. Vitamin C banyak terdapat dalam mangga. Sumber lainnya: belimbing, aneka jenis jeruk (jeruk bali, jeruk keprok, dan lain-lain), kedondong, pepaya, rambutan, stroberi, dan kiwi. Vitamin C mencegah kolesterol jahat LDL teroksidasi, sehingga menghindarkan terbentuknya plak di dinding pembuluh darah.


SIMAKLAH DENGAN BAIK SEKALI LAGI TENTANG KONGRUEN




Kapan terakhir Anda tidak mengatakan yang ingin Anda katakan?

Atau mengatakan yang tidak ingin Anda katakan?

Atau tidak melakukan yang ingin Anda lakukan?

Atau melakukan yang tidak ingin Anda lakukan?

Kita mengakui lewat sejarah dan kaidah-kaidah yang ada, bahwa kita memang tidak sempurna.

Dari pengalaman kita masing-masing pun mungkin bisa ditarik generalisasi bahwa kita tidak bisa memperoleh semua yang kita mau.

Artinya, bisa ada juga generalisasi bahwa tidak semua yang ingin kita katakan dan lakukan bisa kita kita penuhi.

Dan menyangkut apa yang ingin kita katakan dan lakukan, akan kembali lagi ke tujuan dan hasil akhir yang ingin kita capai dengan perkataan dan tindakan kita, serta tergantung ke strategi kita masing-masing untuk mencapai hasil akhir tersebut.

Singkatnya kembali menyangkut PILIHAN.

Saya ingin mengajak sahabat sekalian untuk mengingat sekali lagi mengenai yang namanya KONGRUENSI.

KONGRUEN terjadi saat kita berkata atau bersikap sesuai yang kita inginkan, kita berkata sesuai yang kita lakukan, kita menyusun strategi dan sasaran sesuai nilai-nilai kita, atau lebih luas lagi kita tahu bahwa ada harmonisasi antara tingkat SPIRITUAL kita, IDENTITAS diri kita, VALUES, BELIEF, KEMAMPUAN, PERILAKU, dan LINGKUNGAN.

Orang-orang yang sensitif dan terlatih, akan dengan mudah menangkap tidak harmonisnya antara perkataan dan tindakan.

Yang berarti saat kita tidak KONGRUEN, sinyalnya akan terkirim dalam berbagai bentuk.

Apabila tidak ditangkap dari bahasa tubuh kita dalam komunikasi langsung, bisa dari pemilihan kata-kata kita yang kadang bisa sampai tingkat ‘ngaco’, pemilihan kata yang tidak spesifik, bahkan sampai dinilai dari berbagai susunan peristiwa, serangkaian perilaku atau perkataan yang terlihat, terdengar, dan terasakan sebagai pola yang tidak
konsisten.

Sehari-hari, dalam tingkat kemampuan dan sensitifitas yang berbeda, kita semua mempunyai kemampuan untuk ‘mendeteksi’ tidak KONGRUEN-nya orang lain. Kalau Anda pernah punya ‘feeling’ bahwa seseorang berbohong, ragu dalam mempercayai seseorang, melihat atau merasakan gelagat yang Anda sebut mencurigakan, ini semua menyangkut adanya sinyal tidak KONGRUEN-nya orang lain yang kita tangkap, terlepas dari apakah itu benar atau tidak.

Dalam kasus berbohong, misalnya.

Satu kebohongan bisa berbuah kebohongan lainnya.

Lucunya, ini terjadi karena kita berusaha menjaga konsistensi tindakan dan perkataan kita, yang di awalnya justru tidak konsisten dengan NIAT kita.

Lalu bagaimana kita bisa KONGRUEN?

Jawabannya, seperti yang sering kita bicarakan di milis kesayangan kita ini: itu kembali ke PILIHAN kita sendiri.

Misalnya, daripada mengatakan yang tidak ingin kita katakan, kita punya PILIHAN untuk belajar cara mengatakan yang ingin kita katakan, sehingga ada penerimaan yang sesuai dengan yang kita inginkan. Daripada melakukan sesuatu lalu berkata lain tentang yang kita lakukan, padahal kita sendiri tahu orang lain tahu apa yang kita lakukan, kita punya PILIHAN untuk langsung mengatakan yang kita lakukan tersebut dan kalau kita ragu akan efeknya, kita juga punya PILIHAN belajar cara penyampaiannya yang lebih efektif, tanpa bersikap tidak KONGRUEN.

Juga, apabila kita terlanjur melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan janji kita yang sudah diketahui orang lain, daripada mencoba berdalih, kita punya PILIHAN untuk mengatakan terus terang bahwa kita telah berbuat tidak sesuai komitmen awal, dan minta maaf. Ini KONGRUEN!

NIAT kita selalu positif, jadi apabila ada perilaku kita yang tidak sesuai dengan NIAT kita, akan ada gangguan system dalam tubuh kita.

Perang seringkali terjadi, misalnya saat secara SPIRITUAL kita tahu itu salah, secara IDENTITAS kita tahu kita sebenarnya juga bukan orang seperti itu, secara VALUES kita juga tahu itu bukanlah yang sebenarnya kita cari, TAPI? Ada BELIEF yang berbisik bahwa “Tidak apa-apa kok, semua orang juga berbuat begitu”, atau “Ah, kemarin saya begini juga tidak apa-apa tuh”, sehingga kita LAKUKAN juga.

Masih banyak PILIHAN yang ada, apabila kita ingin bisa mempertahankan KONGRUENSI.

Seperti kata orang bijak, “Kalau memang benar-benar ingin bernyanyi, kita pasti ketemu lagunya”.

Kalau benar-benar mau KONGRUEN, PILIHAN akan tersedia.

Kalau belum tahu, sumber daya luar banyak sekali tersedia.

Tinggal mau atau tidak.

Belajar dari Hukum Archimedes
> Achmad Firdaus
> Majalah SWA edisi 1-14 Maret 2007
>
> Bayangkanlah kita memiliki sebuah bejana air yang sangat besar. Lalu
> letakkanlah sebuah bola plastik dan sekeping uang logam lima ratusan
> rupiah di dalamnya. Sedikit demi sedikit, tuangkanlah air ke dalam
> bejana tersebut. Apa yang akan terjadi? Uang logam lima ratusan rupiah
> akan tenggelam di dasar bejana sementara bola plastik akan terangkat
> mengapung. Dua buah peristiwa yang terjadi secara bersamaan. Dua buah
> kejadian merupakan dampak dari satu penyebab yang sama yaitu adanya
> hukum alam, yang di dalam ilmu fisika disebut Hukum Archimedes.
> Uang lima ratusan rupiah yang terbuat dari logam, jelas memiliki massa
> jenis yang lebih besar daripada air. Hal ini mengakibatkan uang logam
> akan tenggelam di dalam air. Namun bagi bola yang terbuat dari
> plastik, dia memiliki massa jenis yang lebih kecil dibandingkan air.
> Bola akan mengapung. Bola akan selalu berada di suatu ketinggian
> tertentu. Dan yang pasti, posisi bola akan selalu lebih tinggi dari
> ketinggian air itu sendiri.
> Dalam ilmu fisika, massa jenis didefinisikan sebagai fraksional antara
> jumlah satuan unit massa dan jumlah satuan unit volume, . Bila jumlah
> satuan unit massa yang mengisi setiap satuan unit volume diperbesar
> maka massa jenis menjadi besar. Sebaliknya bila jumlah satuan unit
> massa yang mengisi setiap satuan unit volume diperkecil maka massa
> jenis menjadi lebih kecil. Perubahan massa jenis juga dapat terjadi
> bila satuan unit volume bagi setiap satuan unit massa berubah. Bila
> satuan unit volume bagi setiap satuan unit massa diperkecil maka massa
> jenis menjadi lebih besar. Sebaliknya bila jumlah satuan unit volume
> bagi setiap satuan unit massa diperbesar maka massa jenis menjadi
> lebih kecil.
> Selanjutnya, bayangkanlah wadah bejana di atas adalah personifikasi
> dari sebuah prospek atau kapasitas bisnis suatu industri. Kapasitas
> industri luar biasa besar, saking besarnya kapasitas ini, kita sebut
> saja tak terbatas (unlimited).
> Ketika kita menjadi yang pertama The First di industri kita, maka
> posisi kita adalah sebagaimana bola plastik ataupun uang logam lima
> ratusan rupiah di dasar bejana. Kita dapat dengan leluasa melakukan
> bisnis. Namun seiring dengan tumbuhnya new comer di industri tersebut
> menyebabkan persaingan semakin sengit. Persaingan di industripun bisa
> jadi pertumbuhannya lebih besar dari yang kita prediksikan.
> Menyikapi hal di atas, ada dua choice bagi kita sebagai pelaku bisnis
> di industri ini. Mau jadi uang logam lima ratusan rupiah? Monggo.
> Mau jadi bola plastik ? silahkan.
> Itu semua tergantung pilihan kita. Arvan Pradiasyah pada bukunya You
> Are A Leader mengatakan seorang leader akan terlihat derajat
> ke-'leader'annya pada saat dia mengambil choice.
>
> Jelas bagi kita, agar kita dapat berperan sebagai seorang leader di
> industri maka kita harus memilih sebagaimana bola plastik di dalam
> bejana air, bukan sebagai uang logam lima ratusan rupiah.
> Dengan berperan sebagai bola plastik, kita tidak hanya the first yang
> mengisi bejana air tetapi juga akan selalu berada di atas ketinggian
> tertentu, lebih tinggi dari ketinggian air itu sendiri, the best.
> Menarik untuk disimak adalah apa yang ditekankan oleh Jack Welch
> mantan Direktur General Electric bahwa bila lingkungan eksternal lebih
> cepat berubah dibandingkan anda maka organisasi akan berakhir (Subir
> Chowdhury, 2005).
> Bagaimana agar kita selalu berada di atas ketinggian air sebagaimana
> bola plastik? Kita harus memiliki massa jenis yang lebih kecil dari
> air. How ?
> Agar massa jenis perusahaan lebih kecil dibandingkan industrinya maka
> kita harus memperkecil satuan unit massa perusahaan atau memperbesar
> satuan unit volume perusahaan.
> Memperkecil satuan unit massa perusahaan berarti melakukan suatu
> strategi yang bersifat menyaring, memfilter atau meyeleksi.
> Menghilangkan sesuatu yag bersifat pemborosan atau efisien dalam
> operasional.
> Mengembangkan sistem recruitment yang baik sehingga hanya memilih
> karyawan yang capable dan cocok dengan budaya perusahaan saja yang
> direkrut, adalah salah satu contoh proses seleksi.
> Sebagai contoh, Nissan Motor (GB) hanya akan merekrut calon karyawan
> yang memiliki kecocokan dengan kultur perusahaan.
> Anthony Eastwood (David Clutterbuck, 2003) manajer Personnel & General
> Nissan Motor (GB) Limited mengatakan, "struktur dan orang-orang harus
> cocok satu sama lain, jadi kami perlu merekrut orang-orang yang kami
> rasakan sesuai dengan kultur dan struktur kami yang diberdayakan"

.
> Sebagaimana diketahui NMGB memiliki struktur yang flate, setiap
> pekerja memiliki satu hingga lima macam tugas yang saling berbeda,
> bahkan saling tumpang tindih. Tidak diberlakukannya sistem job
> description di NMGB membuat setiap orang memiliki kewajiban bekerja
> tanpa ada batasan fungsi. Sistem bekerja demikian menuntut Bagian
> Personalia untuk hanya merekrut karyawan yang capable dengan budaya
> perusahaan saja.
> Demikian pula dengan apa yang dilakukan oleh Group Takaful Indonesia,
> salah satu pioner asuransi syariah di Indonesia. Dalam proses
> perekrutan karyawan, oleh karena group perusahaan beroperasi
> berdasarkan syariah maka dalam proses perekrutan dilakukan test
> syariah. Menarik juga dengan apa yang pernah penulis alami ketika
> masih bekerja di PT. Sanyo Jaya Components Indonesia, salah satu
> perusahaan Jepang terkemuka di dunia. Oleh karena budaya perusahaan
> memerlukan pekerja yang gesit maka dalam proses seleksi karyawan, ada
> satu tahapan proses seleksi berupa cara berjalan. Bila calon karyawan
> berjalan dengan lemah gemulai atau kurang bersemangat maka kita
> melihat ada satu indikasi bahwa ybs kurang gesit dalam bekerja, itu
> berarti dia kurang cocok dengan budaya perusahaan.
> Mengembangkan sistem talent management sehingga menghasilkan pekerja
> berbakat. Subir Chowdhury (2005) mengidentifikasi bahwa Talent
> Management System (TMS) dapat dengan segera mengubah suatu organisasi
> dari organisasi yang lambat dan asal-asalan menjadi pemimpin kelas
> dunia (baca juga Shobir Chowdhury, the Talent Era).
> Memperbesar satuan unit volume perusahaan adalah berarti melakukan
> strategi pengembangan yang bersifat keratif inovatip.
> Contoh kegiatan memperbesar satuan unit volume perusahaan adalah
> dengan mengembangkan budaya organisasi. Budaya organisasi adalah
> berbicara 'Bagaimana' cara perusahaan melakukan sesuatu untuk mencapai
> objective dan targetnya. Apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusaha an
> Jepang dalam mempertahankan dominasinya di industri yaitu dengan
> mengembangkan budaya kerja Gemba Kaizen -perbaikan kontinyu di tempat
> kerja- merupakan suatu contoh bagaimana budaya organisasi menjadi alat
> yang kuat dalam membangun perusahaan. Demikian pula dengan keberadaan
> General Electric yang terus menerus berada di puncak kejayaan adalah
> tidak terlepas dari diterapkannya Six Sigma sebagai budaya kerja
> perusahaan.
> Memperkuat kapabilitas Perusahaan. Yang dimaksud dengan kapabilitas
> perusahaan adalah kapasitas perusahaan untuk belajar dan berubah atau
> beradaptasi dengan segala perubahan di lingkungan luar. Sangat menarik
> temuan yang didapat oleh Foster dan Kaplan (Foster Kaplan dalam Subir
> Chowdhury) bahwa 61 perusahaan yang tercantum pada Forbes 100 yang
> diterbitkan pada tahun 1917, ternyata sudah tidak terdata lagi di
> Forbes terbitan tahun 1987. Dari 39 perusahaan yang tersisa ternyata
> hanya 18 perusahaan yang tetap bertahan sebagai 100 perusahaan puncak.
> Penyebab dari kegalalan mereka sebagian besar oleh karena ketidak
> mampuan perusahaan dalam mengantisipasi perubahan di lingkungan luar.
> Salah satu cara yang digunakan dalam rangka meningkatan kapabilitas
> perusahaan adalah dengan membentuk team perubahan. Team ini bertugas
> memformulasikan improvement perubahan menuju perbaikan di segala lini.
> Cara lainnya yang dapat dilakukan dalam rangka memperkuat kapabilitas
> perusahaan adalah melalui pembentukan lingkungan pembelajaran.
> Lingkungan yang demikian dapat tercipta dengan membiasakan setiap
> individu di dalam organisasi saling berbagi informasi / sharing
> information. Seorang leader hendaknya tidak boleh terlalu pelit dalam
> berbagi informasi kepada lainnya.
> Tanpa adanya proses berbagi informasi, perubahan sekecil apapun akan
> sangat sulit untuk dilakukan. Mengapa demikian? Dengan informasi yang
> terbagi rata diantara anggota organisasi, maka variasi informasi
> diantara anggota organisasi menjadi kecil. Hal ini membuat terjadinya
> kesepemahaman diantara anggota organisasi. Tentu saja kesepemahaman
> ini akan mempermudah perubahan.
> Bandingkan bila variasi informasi diantara anggota organisasi sangat
> besar, tentu akan memperbesar resistansi terhadap ide perubahan.
> Organisasi akan cenderung lembam untuk berubah.
> Memperluas keterlibatan karyawan terutama dalam kontribusi ide-ide
> pengembangan organisasi, dapat meningkatkan satuan unit volume
> perusahaan menjadi bertambah besar. Dengan ditindak lanjutinya ide-ide
> pengembangan yang berasal dari karyawan maka karyawan akan merasa
> dihargai. Disamping itu ide-ide yang disampaikan oleh karyawan dapat
> dijadikan sebagai salah satu sumber ide pengembangan organisasi.
> Paparan di atas, bila kita kaji lebih jauh akan mengerucut pada proses
> pemberdayaan organisasi. Patut dikaji lebih mendalam, apa yang
> dikatakan oleh Subir Choiwdory bahwa Organisasi yang akan eksis di
> abad 21 adalah organisasi yang melakukan pemberdayaan.
>
> Penutup
> Apa yang telah disampaikan di atas bahwa agar perusahaan dapat
> berperan tidak saja sebagai the first tetapi juga the best, mereka
> harus memiliki massa jenis yang lebih kecil dari industrinya.
> Cara yang harus dilakukan oleh perusahaan tersebut adalah dengan
> memperkecil satuan unit massanya, juga dapat dilakukan dengan
> memperbesar satuan unit volume perusahaan.
> Kedua kegiatan di atas dapat dilakukan dengan melakukan pemberdayaan
> perusahaan. Bila pemberdayaan dilakukan maka perusahaan akan dapat
> berperan tidak saja sebagai the first tetapi juga the best. Tetapi
> bila pemberdayaan tidak dilakukan maka perusahaan hanya dapat menjadi
> the first but not the best.