Kamis, 25 September 2008

ANAK DAN TANGGUNG JAWAB




SEORANG teman pernah bercerita soal anak dan tanggung jawab. Suatu hari dia menyeberang jalan, di sebuah jalanan di Spanyol. Seperti biasa,
sebagai orang Indonesia, ia menyeberang tanpa melalui zebra-cross. Saat itu memang tak ada mobil, sepi, juga tak ada polisi; kecuali seorang ibu
dengan anaknya yang masih balita. Begitu ia sampai ke seberang jalan, terdengar teriakan si ibu dari seberang jalan yang baru saja ia tinggalkan.
"Hei..hei... ke Sini!!". Kira-kira begitu teriakan ibu itu.


Mendengar seorang ibu yang berteriak sambil melambaikan tangan, lagi sebagai orang Indonesia, teman ini langsung kembali menyeberang. Pasti
ada apa-apa dengan ibu ini, ia butuh pertolongan. Sesampainya di dekat ibu itu, ia dibentak, "Hai, kenapa kamu menyeberang bukan dari
zebra-cross? Tahukah kamu, kelakuanmu itu sudah mengajari anak saya melanggar peraturan, kamu sudah menanamkan dalam memorinya bahwa
melanggar peraturan itu sesuatu yang biasa-biasa saja!"


Cerita ini mengagetkan teman saya, juga saya. Soal orang Indonesia melanggar peraturan bukanlah hal yang mengejutkan. Namun argumen ibu itu
yang mengaitkan pelanggaran dengan masa depan anaknya itulah yang lebih mengejutkan. Begitu pentingnya masa depan anak-anak bagi ibu itu,
begitu pentingnya ibu itu menjaga memori dan kesadaran anaknya agar tetap terjaga dalam perbuatan baik. Bagaimana dengan kita?


Pertengahan bulan Juli ini, saya memiliki cerita yang lain tentang orang tua dan anaknya. Kali ini dari tetangga-tetangga saya yang mau
menyekolahkan anaknya di SMP. Konon, sang anak adalah juara umum di sekolahnya dan dapat mengikuti test masuk SMP dengan mudah.
"Mudah-mudahan anak saya bisa masuk pilihan pertamanya!" harap sang bapak.


Tanggal 11 malam, sang bapak bertemu lagi dengan wajah yang muram, lebih tepatnya penuh kekecewaan, "Anak saya gagal, semula nilainya 80,
saya sudah mengeceknya lewat SMS. Eh...kemarin nilainya jadi 67. Saya protes, dan guru-guru di SMP itu minta maaf atas kekhilafannya. Lalu,
mereka menawarkan jalan belakang, biasa dengan bayar sekian rupiah!" Tetangga saya menolak untuk membayar, ia biarkan anaknya ke sekolah
swasta saja. "Saya tak mau anak saya belajar di sekolah pembohong!"


Menurut sahibul gosip, melorotnya nilai anak tetangga saya itu karena ada beberapa anak lain yang nilainya rendah dikatrol dengan cara membayar
sekian rupiah. Tentu saja yang membayarnya adalah orang tua, dan yang menerimanya adalah guru yang terhormat. Marilah kita bandingkan sikap
dan tanggung jawab kita pada anak-anak. Keputusan untuk membayar sejumlah rupiah demi sang anak tentu didasari pilihan untuk memberikan
kasih sayang yang terbaik buat sang anak, namun pada saat yang bersamaan kita telah menanamkan racun pada kesadaran anak-anak itu. Racun
itu adalah,

1) uang bisa menyelesaikan segalanya;

2) tak usah berprestasi, biasa-biasa saja, nanti juga uang bisa menambalnya.


Barangkali dari peristiwa kecil inilah korupsi membudaya. Tanpa sadar kita melakukannya setiap hari, dan repotnya lagi kita melakukan itu di depan
anak-anak kita. Anak-anak yang masih polos itu pastilah telah mencatat di relung kesadarannya dan menjadikannya falsafah hidup sepanjang hayat.
Terlebih lagi, peristiwa ini dialami sang anak di lembaga pendidikan yang semua aspeknya merupakan nilai mulia yang harus ditiru dan diteladani.
Marilah kita bercermin lagi pada cerita yang lain. Cerita kali ini datang dari salah seorang cucu Mahatma Ghandi. Ia dan anaknya pergi ke suatu
tempat. Karena acara sang ayah agak lama, sang anak diizinkan untuk membawa mobil itu bagi keperluannya sendiri. "Syaratnya, jam sekian kamu
harus berada di sini, menjemput bapak!" ujar sang ayah. Pada jam yang ditentukan sang anak belum kembali, menit demi menit sang anak belum
juga kembali. Sang ayah menunggu sampai beberapa jam. Lalu, sang anak datang dan mengajukan permohonan maafnya.


"Baiklah kalau begitu," ujar sang ayah, "naikilah mobil itu, bawalah pulang. Saya akan jalan kaki ke rumah!" Sang anak protes dan merasa bersalah.
Namun sang Ayah tetap saja jalan kaki sambil berpesan, "Mengingkari janji adalah kesalahan terbesar dalam hidup ini, kamu sudah melakukannya
padaku. Semua itu pastilah bukan kesalahanmu, itu semua karena saya salah mengajarimu, nak. Karena itu biarlah ayah menghukum diri,
menghukum kesalahan pendidikanku padamu!" Sejak saat itu, sang anak tak pernah lagi mengingkari janji.


Seluruh kisah-kisah ini adalah bahan refleksi kita pada Hari Anak. Benarkah kita serius merawat anak kita yang sering kita sebut sebagai amanah
(titipan) dari Allah? Betapa mulia kata-kata "amanah (titipan) Allah". Pada istilah ini terlihat relasi antara Allah dan kita yang sedemikian akrab, Allah
percaya pada kita karena itu Dia menitipkan sesuatu yang berharga. Lazimnya titipan, ia harus tetap seperti nilai awalnya. Nilai awal sang anak
adalah fitrah, dan harus tetap fitrah.


Fitrahnya adonan untuk dicetak, fitrahnya perhiasan untuk membuat bangga pemakainya, fitrahnya sang anak tentu bukan untuk "dicetak" agar
"membuat bangga" orang tuanya. Sang anak adalah sebutir benih yang begitu rapuh, butuh tanah yang baik dan pemeliharaan yang sesuai takaran.
Kecenderungan benih adalah terus mencari cahaya, tetapi putik kecil bisa saja ditipu diberi cahaya palsu dan memercayainya seumur hidup.
Bisakah kita menjadi tanah, yang menerima amanat secara jujur? Tanah tak pernah menumbuhkan semangka bila ia mendapatkan titipan benih
padi. Benih padi yang ditanam, tumbuhan padi pula yang tumbuh. Bisakah kita menerima benih fithrah "anak kita" dan mengembangkannya menjadi
fithrah yang lebih baik?

Sebuah hadis menyatakan bahwa setelah kematian menerpa kita, tak ada yang bisa menolong dari siksa kubur kecuali doa dari kesalehan sang
anak. Tentu saja, maksud hadis ini bila sang anak, "titipan Allah" itu, telah kita jaga dan tumbuh tetap berada dalam fitrahnya, maka kita akan
mendapatkan hadiah dari Tuhan karena telah menjaga amanahnya dengan baik.


Pada hari ini, ada baiknya kita menyempatkan diri untuk mengelus dan mengecup lembut kening mereka. Kita layak meminta maaf karena selama
ini telah memberikan ruang hidup yang sumpek, penuh keluhan dan pertengkaran, serta tidak memberikan jaminan-moral. Kita pun layak memohon
ampunan pada Allah karena titipan-Nya belum dirawat secara baik.

Tersenyumlah, anak-anak menunggu ketulusan kita!

Penulis, dosen pada Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Oleh BAMBANG QOMARUZZAMAN

Bahagia, ada pada Jiwa yang Bisa Bersyukur

Pernah membayangkan, bagaimana seseorang menulis buku, bukan dengan
tangan atau anggota tubuh lainnya, tetapi dengan kedipan kelopak mata
kirinya? Jika Anda mengatakan itu hal yang mustahil untuk
dilakukan, tentu saja Anda belum mengenal orang yang bernama
Jean-Dominique Bauby. Dia pemimpin redaksi majalah Elle, majalah
kebanggaan Prancis yang digandrungi wanita seluruh dunia.

Betapa mengagumkan tekad dan semangat hidup maupun kemauannya untuk
tetap menulis dan membagikan kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Ia
meninggal tiga hari setelah bukunya diterbitkan. Setelah tahu apa
yang dialami si Jean dalam menempuh hidup ini, pasti Anda akan
berpikir, "Berapa pun problem dan stres dan beban hidup kita semua,
hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan si Jean!"

Tahun 1995, ia terkena stroke yang menyebabkan seluruh tubuhnya
lumpuh. Ia mengalami apa yang disebut locked-in syndrome, kelumpuhan
total yang disebutnya "Seperti pikiran di dalam botol". Memang ia
masih dapat berpikir jernih tetapi sama sekali tidak bisa berbicara
maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya
adalah kelopak mata kirinya. Jadi itulah cara dia berkomunikasi
dengan para perawat, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya.

Begini cara Jean menulis buku. Mereka (keluarga, perawat,
teman-temannya) menunjukkan huruf demi huruf dan si Jean akan berkedip
apabila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya. "Bukan main,"
kata Anda.

Ya, itu juga reaksi semua yang membaca kisahnya. Buat kita, kegiatan
menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, kalau kita
disuruh "menulis" dengan cara si Jean, barang kali kita harus menangis
dulu berhari-hari dan bukan buku yang jadi, tapi mungkin meminta ampun
untuk tidak disuruh melakukan apa yang dilakukan Jean dalam pembuatan
bukunya.

Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan
memoarnya yang ditulisnya secara sangat istimewa. Judulnya, "Le
Scaphandre" et le Papillon (The Bubble and the Butterfly).

Jean adalah contoh orang yang tidak menyerah pada nasib yang
digariskan untuknya. Dia tetap hidup dalam kelumpuhan dan tetap
berpikir jernih untuk bisa menjadi seseorang yang berguna, walaupun
untuk menelan ludah pun, dia tidak mampu, karena seluruh otot dan
saraf di tubuhnya lumpuh. Tetapi yang patut kita teladani adalah
bagaimana dia menyikapi situasi hidup yang dialaminya dengan baik dan
tetap menjadi seorang manusia (bahasa Sansekerta yang berarti pikiran
yang terkendali), bahkan bersedia berperan langsung dalam film yang
mengisahkan dirinya.

Jean, tetap hidup dengan bahagia dan optimistis, dengan kondisinya
yang seperti sosok mayat bernapas. Sedangkan kita yang hidup tanpa
punya problem seberat Jean, sering menjadi manusia yang selalu
mengeluh..! Coba ingat-ingat apa yang kita lakukan. Ketika mendapat
cuaca hujan, biasanya menggerutu. Sebaliknya, mendapat cuaca panas
juga menggerutu. Punya anak banyak mengeluh, tidak punya anak juga
mengeluh. Carl Jung, pernah menulis demikian: "Bagian yang paling
menakutkan dan sekaligus menyulitkan adalah menerima diri sendiri
secara utuh, dan hal yang paling sulit dibuka adalah pikiran yang
tertutup!"

Maka, betapapun kacaunya keadaan kita saat ini, bagi yang sedang stres
berat, yang sedang berkelahi baik dengan diri sendiri maupun melawan
orang lain, atau anggota keluarga yang sedang tidak bahagia karena
kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, yang baru mendapat musibah
kecelakaan atau bencana, bagi yang sedang di-PHK, ingatlah kita masih
bisa menelan ludah, masih bisa makan dan menggerakkan anggota tubuh
lainnya. Maka bersyukurlah, dan berbahagialah. ..!
Jangan menjadi pengeluh, penggerutu, penuntut abadi, tapi bijaksanalah
untuk bisa selalu think and thank (berpikir, kemudian berterima kasih/
bersyukurl).

Dalam artikel yang berjudul Kegagalan & Kesuksesan Hasil Konsekuensi
Pikiran ( SPM 26 Februari 2005) dituliskan, seseorang yang sadar
sepenuhnya, dia datang ke dunia ini hanya dibekali sebuah nyawa
(jiwa). Nah, nyawa itu harus dirawat dengan menjalani kehidupan secara
bertanggung jawab. Dengan nyawa ini pulalah, seseorang harus hidup
bahagia, di manapun dia berada, dan dalam kondisi apapun, dia
harus bisa bahagia. Kunci kebahagiaan adalah bersyukur! Mensyukuri apa
yang kita dapat itu penting, termasuk sebuah nyawa agar kita bisa
hidup di alam ini. Dan kebahagiaan bisa dibuat, dengan tidak meminta
(menuntut) apapun pada orang lain, tetapi memberikan apa yang bisa
diberikan kepada orang lain agar mereka bahagia. Jadilah seseorang
yang merasa ada gunanya untuk kehidupan ini.

Untuk itu, Anda bisa mendengarkan intuisi sendiri sehingga bertindak
sesuai nurani dan menghasilkan apa yang Anda inginkan dalam hidup.
Hadapi hidup dengan tabah karena orang-orang beruntung bukan tidak
pernah gagal. Bukan tidak pernah ditolak, juga bukan tidak pernah
kecewa. Justru banyak orang yang sukses itu sebetulnya orang yang
telah banyak mengalami kegagalan.

Berpikirlah positif, Anda akan menjadi orang yang beruntung. Banyak
cerita tentang keberuntungan berasal dari kejadian-kejadian yang tidak
menguntungkan. Misalnya, kehilangan pekerjaan memunculkan ide besar
untuk mulai bisnis sendiri dan menjadi majikan. Ditolak pun bisa
mendatangkan kesuksesan. Tetapi, untuk mendapatkan keberuntungan
diperlukan usaha. Dan mulailah sekarang juga untuk
berusaha!

Sumber: Bahagia, ada pada Jiwa yang Bisa Bersyukur oleh Lianny Hendranata

Tidak ada komentar: