Kamis, 25 September 2008

Bulu Angsa



Pada abad ke sebelas ketika itu Bao Zheng seorang hakim yang dikenal
adil dan bijaksana pada jaman Dinasti Song Utara sedang menangani
sebuah kasus fitnah yang dilakukan oleh seorang warga kota Kaifeng di
Provinsi Henan karena persaingan usaha. Pria separuh baya itu telah
terbukti menyebarkan kata-kata fitnah yang sangat merugikan pengusaha
lainnya.

Didalam persidangan Hakim Bao menjatuhkan hukuman denda sebesar
seratus tael perak dan jika tak sanggup membayar maka sebagai gantinya
harus mendekam di penjara selama satu tahun.

Pria terdakwa itu menangis tersedu-sedu mohon ampun seraya meminta
keringanan hukuman.
"Baiklah" kata Hakim Bao "Kamu akan mendapatkan keringanan hukuman
namun ada syarat yang harus kamu lakukan."
"Apa itu yang mulia?" Tanya pria itu penuh harap.
Hakim Bao meminta para pengawal untuk membawa pria itu ke sebuah
dataran diatas sebuah bukit dimana angin berhembus dingin dan kencang.
Kemudian salah satu pengawal mengeluarkan sebuah kantung kecil berisi
segenggam bulu angsa.
"Bulu-bulu angsa ini akan disebarkan dan tugas kamu adalah
mengumpulkan sebanyak-banyaknya bulu-bulu angsa itu, setiap helai bulu
angsa bernilai satu tael perak.

Saat kantung dibuka, maka bulu-bulu angsa itu langsung beterbangan
tinggi disapu angin yang bertiup sangat kencang. Pria itu bergegas
berlari kesana kemari berusaha menangkap bulu-bulu angsa itu.

Alhasil setelah beberapa jam, pria itu hanya memegang dua helai bulu
angsa ditangannya. Dengan lunglai pria itu pun menerima keputusan
hukuman yang telah dijatuhkan oleh Hakim Bao.

"Bulu-bulu angsa itu ibarat kata-kata yang telah kau ucapkan, seperti
halnya bulu-bulu angsa yang beterbangan dan sungguh tidak mudah untuk
ditangkap kembali, sama dengan kata-kata yang terlanjur kau keluarkan
dari mulutmu, sungguh sulit untuk menariknya kembali" kata Hakim Bao
"Lain kali berhati-hatilah dalam berucap" kata Hakim Bao menutup
persidangan.

__

“Ibu, I Miss You So Much”
Jamil Azzaini - Kubik Leadership

Jakarta, Hukum kekekalan energi dan semua agama menjelaskan bahwa apapun yang kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita. Apabila kita melakukan energi positif
atau kebaikan maka kita akan mendapat balasan berupa kebaikan pula. Begitu pula bila kita melakukan energi negatif atau keburukan maka kitapun akan mendapat balasan berupa
keburukan pula. Kali ini izinkan saya menceritakan sebuah pengalaman pribadi yang terjadi pada 2003.

Pada September-Oktober 2003 isteri saya terbaring di salah satu rumah sakit di Jakarta. Sudah tiga pekan para dokter belum mampu mendeteksi penyakit yang diidapnya. Dia
sedang hamil 8 bulan. Panasnya sangat tinggi. Bahkan sudah satu pekan isteri saya telah terbujur di ruang ICU. Sekujur tubuhnya ditempeli kabel-kabel yang tersambung ke sebuah
layar monitor.

Suatu pagi saya dipanggil oleh dokter yang merawat isteri saya. Dokter berkata, ”Pak Jamil, kami mohon izin untuk mengganti obat ibu”. Sayapun menjawab ”Mengapa dokter
meminta izin saya? Bukankan setiap pagi saya membeli berbagai macam obat di apotek dokter tidak meminta izin saya“ Dokter itu menjawab “Karena obat yang ini mahal Pak
Jamil.“ ”Memang harganya berapa dok?“ Tanya saya. Dokter itu dengan mantap menjawab “Dua belas juta rupiah sekali suntik.” “Haahh 12 juta rupiah dok, lantas sehari berapa kali
suntik, dok? Dokter itu menjawab, “Sehari tiga kali suntik pak Jamil”.

Setelah menarik napas panjang saya berkata, “Berarti satu hari tiga puluh enam juta, dok?” Saat itu butiran air bening mengalir di pipi. Dengan suara bergetar saya berkata, “Dokter
tolong usahakan sekali lagi mencari penyakit isteriku, sementara saya akan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar penyakit istri saya segera ditemukan.” “Pak Jamil kami sudah
berusaha semampu kami bahkan kami telah meminta bantuan berbagai laboratorium dan penyakit istri Bapak tidak bisa kami deteksi secara tepat, kami harus sangat hati-hati
memberi obat karena istri Bapak juga sedang hamil 8 bulan, baiklah kami akan coba satu kali lagi tapi kalau tidak ditemukan kami harus mengganti obatnya, pak.” jawab dokter.

Setelah percakapan itu usai, saya pergi menuju mushola kecil dekat ruang ICU. Saya melakukan sembahyang dan saya berdoa, “Ya Allah Ya Tuhanku… aku mengerti bahwa Engkau
pasti akan menguji semua hamba-Mu, akupun mengerti bahwa setiap kebaikan yang aku lakukan pasti akan Engkau balas dan akupun mengerti bahwa setiap keburukan yang pernah
aku lakukan juga akan Engkau balas. Ya Tuhanku… gerangan keburukan apa yang pernah aku lakukan sehingga Engkau uji aku dengan sakit isteriku yang berkepanjangan,
tabunganku telah terkuras, tenaga dan pikiranku begitu lelah. Berikan aku petunjuk Ya Tuhanku. Engkau Maha Tahu bahkan Engkau mengetahui setiap guratan urat di leher nyamuk.
Dan Engkaupun mengetahui hal yang kecil dari itu. Aku pasrah kepada Mu Ya Tuhanku. Sembuhkanlah istriku. Bagimu amat mudah menyembuhkan istriku, semudah Engkau
mengatur milyaran planet di jagat raya ini.”

Ketika saya sedang berdoa itu tiba-tiba terbersit dalam ingatan akan kejadian puluhan tahun yang lalu. Ketika itu, saya hidup dalam keluarga yang miskin papa. Sudah tiga bulan
saya belum membayar biaya sekolah yang hanya Rp. 25 per bulan. Akhirnya saya memberanikan diri mencuri uang ibu saya yang hanya Rp. 125. Saya ambil uang itu, Rp 75 saya
gunakan untuk mebayar SPP, sisanya saya gunakan untuk jajan.

Ketika ibu saya tahu bahwa uangnya hilang ia menangis sambil terbata berkata, ”Pokoknya yang ngambil uangku kualat… yang ngambil uangku kualat…” Uang itu sebenarnya akan
digunakan membayar hutang oleh ibuku. Melihat hal itu saya hanya terdiam dan tak berani mengaku bahwa sayalah yang mengambil uang itu.

Usai berdoa saya merenung, ”Jangan-jangan inilah hukum alam dan ketentuan Yang Maha Kuasa bahwa bila saya berbuat keburukan maka saya akan memperoleh keburukan. Dan
keburukan yang saya terima adalah penyakit isteri saya ini karena saya pernah menyakiti ibu saya dengan mengambil uang yang ia miliki itu.” Setelah menarik nafas panjang saya
tekan nomor telepon rumah dimana ibu saya ada di rumah menemani tiga buah hati saya. Setelah salam dan menanyakan kondisi anak-anak di rumah, maka saya bertanya kepada
ibu saya “Bu, apakah ibu ingat ketika ibu kehilangan uang sebayak seratus dua puluh lima rupiah beberapa puluh tahun yang lalu?”

“Sampai kapanpun ibu ingat Mil. Kualat yang ngambil duit itu Mil, duit itu sangat ibu perlukan untuk membayar hutang, kok ya tega-teganya ada yang ngambil,” jawab ibu saya dari
balik telepon. Mendengar jawaban itu saya menutup mata perlahan, butiran air mata mengalir di pipi.

Sambil terbata saya berkata, “Ibu, maafkan saya… yang ngambil uang itu saya, bu… saya minta maaf sama ibu. Saya minta maaaaf… saat nanti ketemu saya akan sungkem sama
ibu, saya jahat telah tega sama ibu.” Suasana hening sejenak. Tidak berapa lama kemudian dari balik telepon saya dengar ibu saya berkata: “Ya Tuhan pernyataanku aku cabut, yang
ngambil uangku tidak kualat, aku maafkan dia. Ternyata yang ngambil adalah anak laki-lakiku. Jamil kamu nggak usah pikirin dan doakan saja isterimu agar cepat sembuh.” Setelah
memastikan bahwa ibu saya telah memaafkan saya, maka saya akhiri percakapan dengan memohon doa darinya.

Kurang lebih pukul 12.45 saya dipanggil dokter, setibanya di ruangan sambil mengulurkan tangan kepada saya sang dokter berkata ”Selamat pak, penyakit isteri bapak sudah
ditemukan, infeksi pankreas. Ibu telah kami obati dan panasnya telah turun, setelah ini kami akan operasi untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu.” Bulu kuduk saya merinding
mendengarnya, sambil menjabat erat tangan sang dokter saya berkata. ”Terima kasih dokter, semoga Tuhan membalas semua kebaikan dokter.”

Saya meninggalkan ruangan dokter itu.... dengan berbisik pada diri sendiri “Ibu, I miss you so much.”

Keterangan Penulis:
Jamil Azzaini adalah Senior Trainer dan penulis buku Best Seller KUBIK LEADERSHIP; Solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup.

Tidak ada komentar: