Kamis, 25 September 2008

GENGGAMLAH ERAT-ERAT SAMUDERA HARAPAN




Lihatlah seorang Ibu tua dan seorang anaknya dengan penuh semangat sedang menjajakan
nasi bungkus dagangannya di pinggir jalan. Saat itu petang menjelang dengan tergesa-gesa.
Sinar cahaya dari lampu jalan tak cukup mampu menerangi dagangannya. Lalu lalang derap
langkah kaki kerumunan orang dan kendaraan datang silih berganti. Siapa pula yang tertarik
membeli? Namun, mereka berdua silih berganti menyapa dan menawarkan dagangannya.
"Ibu, mengapa Ibu yakin ada yang ingin membeli dagangan Ibu" "Lalu bagaimana Ibu bisa
menjajakan barang di keremangan dan suasana yang sedemikian riuhnya seperti ini?"

Dengan sederhana Ibu itu menjawab, "Ibu tak pernah kehilangan harapan," begitu jawabnya.
"Itulah satu-satunya yang membuat Ibu tetap semangat. Ibu tak tahu apa dan bagaimana
membesarkan usaha ini, namun Ibu hanya tahu harapan takkan pernah meninggalkan Ibu
bila Ibu terus menggengamnya"

Ah, ungkapan yang begitu lugu dan menyentil ruang kesadaran hati. Belajar dari sebuah
filosofi yang sederhana dan syarat dengan makna, semestinya kita berterima kasihlah pada
orang-orang papa yang mampu memberikan teladan dan menebarkan harapan perbaikan
hidup pada kita. Mereka bagaikan tiang penyangga yang mampu menahan langit dari
keruntuhan. Dan mereka bagaikan peredup terik mentari kehidupan yang adakalanya
hidup terasa panas membakar.

Seorang guru yang bijak akan berkata, sebuah harapan akan memampukan seorang
Ibu menyusui anaknya, dengan harapan mempu mendorong kita menanam benih
kebaikan suatu saat nanti sempat atau pun tidak kita petik buahnya yang ranumnya.
Dengan harapan seorang cacat mampu menggapai prestasinya, dengan harapan seorang
tua renta mampu membesarkan anak-anaknya hingga berhasil, dan dengan harapan
sebuah perusahaan mampu terus mengembangkan sayap usahanya. Pahamilah bila kita kehilangan
harapan meski sekali saja, sama artinya kita kehilangan kekuatan kita untuk menghadapi dunia ini.

Tulislah berjuta harapan dalam lembaran putih dengan tinta pena keinginan dan kesungguhan
hati kita. Bawalah gengaaman harapan bersama setiap detak langkah menggapai kenyataan.
Niscaya kita kan takjub karenanya ketika harapan dan kenyataan begitu erat kita gemgam
dan raih.

---------

2 Renungan Mengenai 'Sengaja' Berkembang
Oleh: Hingdranata Nikolay, MNLP, CHt
"Kalau kesempatan tidak mengetuk pintu Anda, bangunlah pintunya!" - Milton Berle
"Sukses bukanlah akibat ledakan spontan. Anda yang harus meledakkan diri Anda!" - Arnold A Glasow
Sebagian orang menunggu perubahan untuk terjadi. Mereka menunggu perkembangan mereka terjadi secara apa yang mereka sebut sebagai natural atau dengan sendirinya. Dan mereka akan mengatakan kepada siapapun yang bertanya, bahwa mereka sedang dalam 'proses' menuju apapun yang ingin mereka tuju. Hanya saja, mereka tidak tahu kapan, di mana, bagaimana, apa, secara spesifik. "Sedang dalam proses!" begitu klaimnya.
Ada sesuatu dalam pikiran kita yang tidak disadari oleh orang-orang ini. Saat terjadi konflik antara kemauan dan habit, yang justru mengambil kendali adalah habit. Pikiran kita menyederhanakan. Ia akan MEMILIH sesuatu yang sudah lebih sering terbukti. Sesuatu yang sudah lebih sering kita alami. Sesuatu itu yang akan melengkapi persepsi dan akhirnya mengarahkan perilaku. Kita MAU lebih rajin dalam bekerja, sementara habit membuktikan bahwa dengan usaha begitu-begitu saja sudah lumayan, maka pikiran akan MEMILIH habit. Kita MAU bisa melakukan sesuatu, sementara habit membuktikan bahwa kita sudah sering berusaha tapi tidak bisa, maka pikiran MEMILIH habit.
Dua ungkapan di atas meningatkan saya pada satu hal: kita sebaiknya SENGAJA BERUBAH! Kita sebaiknya SENGAJA melakukan sesuatu untuk perkembangan kita. Kita tidak cukup lagi menggantungkan diri pada proses, keadaan, situasi, atau apapun sebutannya. Karena proses hanya akan mengembalikan kita ke habit.
Saat kita tidak melihat kesempatan dan menurut habit kita misalnya kita tidak cukup punya peluang untuk banyak hal, maka SENGAJA-lah membangun peluang sendiri! 'Mendapatkan durian runtuh' seperti yang kita kenal di bangku sekolah bukanlah sebuah ungkapan yang berarti kita sebegitu beruntungnya sehingga tinggal menunggu saja. Entah itu pohon durian kita, atau ada sesuatu yang kita lakukan sehingga sistem yang ada di alam ini memberikan kita hadiah tersebut.
Keberhasilan tidak tergantung proses, kitalah yang MEMILIH dan membangunnya! Bom tidak tercipta dan meledak dengan sendirinya. Bom itu dirakit, dibangun, sebelum meledak. Gunung api tidak meletus dengan sendirinya. Sebuah proses lama dan intens terjadi di bawahnya. Pada saatnya tiba, bom atau gunung api menunjukkan hasil PILIHAN untuk meledak.
Ada PILIHAN untuk membangun sukses Anda sendiri. SENGAJA-lah membangunnya, bukan menunggu prosesnya. Bukankah ini sesuatu yang PENTING untuk Anda? PUTUSKAN apa yang Anda inginkan, lalu bangunlah! Sehingga hanya tinggal menunggu waktu sebelum Anda meledak, dan membuktikan ke dunia bahwa Anda berhak untuk itu! Sebab itu PILIHAN Anda!

Paradigma Career Security
Oleh Ubaydillah, AN

Dari penggunaan yang lazim istilah paradigma sering diartikan sebagai pola / model tertentu yang kita anut. Paradigma berpikir tertentu akan mempengaruhi
sikap, tindakan dan kebiasaann tertentu. Paradigma dengan kata lain sering tidak disadari menjadi 'hukum' dan kita semua adalah anak dari hukum itu. Oleh
sebab itu logislah kalau dikatakan, salah satu syarat untuk maju adalah mengganti (baca: menyempurnakan) paradigma lama dengan paradigma baru yang
lebih unggul.


Dalam hal pekerjaan / karir, sedikitnya ada dua paradigma yang berkembang yaitu job security dan career security. Job security merujuk pada keamanan
atas pekerjaan yang dimiliki atau diberikan oleh pihak perusahaan (external), sementara career security merujuk pada keamanan atas bidang karir atau
pekerjaan yang dipilih oleh diri sendiri (internal). Dalam paradigma job security maka kesalahan terbesar adalah munculnya keyakinan bahwa kita bekerja untuk
orang lain. Tentu saja pandangan seperti ini sudah kadaluwarsa sebab pijakan perkembangan karir haruslah diciptakan dari diri individu. Pekerjaan memang
bisa saja milik perusahaan tetapi karir adalah milik anda". Pola berpikir yang mengedepankan job security seringkali justru menjadi "pembunuh" bagi
sumberdaya terbesar yang anda miliki.

Adakah yang salah dari paradigma job security itu sampai dijuluki sebagai "pembunuh" sumberdaya individu? Kalau dikatakan salah, haruskah semua orang
meninggalkan kantor untuk mendirikan perusahaan sendiri, menjadi business owner, self-employment atau investor seperti yang digambarkan dalam 'paradigm
shift' ala Robert Kiyosaki dalam "Cash flow Quadrant" ? Jawabannya tentu tidak mutlak harus demikian.

Posisi dan Misi

Perbedaan arti job security dan career security akan membentuk pemahaman irrational yang mandul kalau diartikan secara posisi tetapi akan 'klop' kalau
diartikan secara misi. Artinya, untuk memahami career security maka anda harus melepaskan diri dari apa pun posisi anda (karyawan, professional, pemilik
usaha) dan hanya berpegang pada misi bahwa diri andalah yang menjadi sumber segalanya bagi kelangsungan karir anda. Dengan kata lain, career security
adalah ajaran mentalitas berupa The enterprising mental attitude - mentalitas pengusaha. Lagi - lagi kita terjebak dalam arti posisi dengan kalimat pengusaha
karena istilah ini sudah dikramatkan sedemikian rupa selama bertahun-tahun sehingga membuat kebanyakan orang takut untuk menyebut dirinya pengusaha,
padahal suka atau tidak suka, semua orang adalah pengusaha, pejuang gagasannya. Inilah inti dari paradigma career security.

Agar tidak terlalu banyak menghadapi jebakan idiom, maka perubahan paradigma dari job security ke career security harus diatur dengan tata letak (realisasi
misi) yang tidak saling berlawanan. Hal itu mengingat bahwa setiap paradigma mengandung nilai plus-minus. Tugas kita adalah mengambil plus dari paradigma
lama untuk dijadikan lebih plus dengan paradigma baru. Paradigma job security yang telah menyelimuti kultur kita mewariskan kepercayaan bahwa modal
untuk membeli keamanan atas pekerjaan adalah loyalitas dan kerja keras. Pada batas yang terlalu jauh, mentalitas demikian akan 'membutakan' penglihatan
terhadap adanya 'gold mine' di dalam diri yang menunggu sentuhan 'gold mind'.

Hal lain yang perlu diingat lagi adalah bahwa paradigma merupakan materi ajaran mentalitas yang dimaksudkan untuk mengubah konstruksi pola pikir dan tidak
perlu mengubah bentuk tatanan fisik kalau memang secara riil belum mampu dan tidak diperlukan. Paradigma career security mengajarkan perubahan mindset
(pola pikir) dari bekerja dengan cemeti perintah menuju ke bekerja atas keinginan untuk memperbaiki diri atau dorongan berprestasi di tempat kerja. Cemeti
perintah akan menciptakan karakter 'asking for' dalam arti 'low bargain' yang membuat banyak orang melihat tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan
sebagai beban hidup. Sementara career security akan menciptakan karakter mental sebagai 'giver'. Tangan "giving" bagaimana pun akan lebih mulia di
banding tangan "asking".

Hal terakhir yang harus diingat juga adalah bahwa perubahan paradigma sebenarnya merupakan jembatan peradaban dari level rendah ke level yang lebih
tinggi. Kalau orang sudah berpegang pada paradigma lebih positif maka kemungkinan besar dapat dikatakan bahwa ia punya potensi lebih besar untuk
menciptakan perilaku yang lebih positif dalam merespon keadaan. Sebab keadaan yang sebenarnya terjadi, meskipun kita menganut paradigma job security,
tetapi toh kita bisa mudah kehilangan pekerjaan karena keputusan orang lain, kebijakan lembaga, atau bahkan perubahan negara lain. Kalau dikaji
untung-ruginya, career security lebih mendorong pada upaya menciptakan persiapan di dalam untuk menghadapi perubahan keadaan di luar sementara job
security tidak mendorong demikian atau lebih cenderung pasrah. Artinya perubahan paradigma dari job security ke career security melambangkan tangga
peradaban yang lebih atas / lebih untung.

Dengan sedikit pertimbangan di atas, rasanya tidak ada ruginya atau bahkan tidak mengandung resiko ancaman keamanan apapun kalau kita sudah bisa
menyambut baik ajakan untuk mengganti paradigma kerja dari job security ke career security. Alasan rational dan faktual yang dapat kita jadikan pijakan
untuk mengganti paradigma itu adalah kenyataan bahwa pekerjaan tidak lagi menyisakan ruang 'comfort zone' atau paling tidak ukurannya makin sempit .
Penyempitan itu bisa disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari persaingan, peristiwa eksternal, dan perubahan kebijakan.

Persaingan yang oleh para ahli diistilahkan sudah mencapai tingkat hyper menuntut kualitas pengecualian. Kualitas rata-rata sudah semakin jauh dari
perhitungan. Kalau ada perusahaan membutuhkan - misalnya saja - tenaga accounting dengan kualifikasi S1, tentu semua orang mengatakan mudah. Tetapi
kalau ditambah kualifikasinya harus bisa bahasa Inggris, sudah berkurang yang berani mengatakan mudah. Apalagi kalau ditambah dengan pengusaan job skill
yang memang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan riil di lapangan, misalnya saja harus menguasai program MYOB, peraturan perpajakan, Brevet A / B,
maka dipastikan tidak semua orang mengatakan mudah. Lebih-lebih kalau ditambah embel-embel harus berpenampilan 'menarik'.

Ketrampilan

Paradigma career security bertumpu pada kekuatan ketrampilan, yaitu mengeluarkan semua sumberdaya internal, keunggulan, dan bakat di tempat kerja
agar bisa lebih mendatangkan manfaat dan prestasi bagi diri kita dan bagi orang lain. Ketrampilan diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu
dengan tepat dan mahir (Skill is the ability to do something expertly). Arah pengembangan ketrampilan bisa mengacu pada formula yang sudah lazim dengan
sedikit penyempurnaan. Di antara formula yang dapat disebutkan di sini adalah:

1. Ketrampilan dan Sikap

Ketrampilan kerja (job skill) dipahami sebagai kemampuan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kalau dielaborasi keterkaitannnya dengan aneka ragam
'human capital' maka job skill lebih banyak diperankan oleh IQ (Intellectual Quotient). Mental skill mengacu pada pengertian leadership skill yaitu kemampuan
menyelesaikan urusan benda hidup atau sering disebut software skill seperti misalnya menangani persoalan hubungan dengan manusia. Mental skill lebih
banyak diperankan oleh EQ (Emotional Quotient).

Dengan paradigma kerja baru maka fokus pengembangan tidak lagi perlu diarahkan pada wilayah dikhotomistik tetapi merebut keduanya dengan menempuh
cara belajar melewati garis pembatas definitif itu. Tidak lagi menggunakan jarum jam tetapi sudah saatnya menggunakan kompas. Tidak lagi menganut
paradigma mesin tetapi manusia yang benar-benar manusia dengan segala kemampuan untuk memilih yang lebih baik dan tidak lagi berbicara mana yang lebih
penting antara job skill dan mental skill.

2. Pikiran dan Tindakan

Rasanya sudah tidak asing kalau kita sering membuat definisi tentang kemampuan orang di mana ada orang yang cuma bisa mengerjakan tetapi tidak bisa
membuat konsep. Paradigma lama itu tak terasa menjebak kita ke dalam pembatas kemampuan yang menyempitkan. Lebih-lebih kalau sudah disikapi secara
perang. Si A hanya fasih dengan konsepnya, 'omong-doang' dan sebaliknya si B hanya bisa bekerja tetapi tidak bisa berpikir kritis..

Paradima kerja baru membutuhkan pengalihan focus untuk memperluas batas definitif kemampuan yang tidak lagi hanya bisa mengerjakan atau hanya berpikir
melainkan mengasah keduanya. "Jika Morita menciptakan kerajaan Sony tanpa menggunakan jasa konsultan atau Sam Walton yang tak bergelar MBA sukses
membangun Wal Mart, maka jawabnya: mereka bukan sekedar people of action tetapi sekaligus people of thought - pemikir yang kritis.

3. Belajar

Keahlian ini bertumpu pada keahlian unutk "belajar bagaimana belajar yang sesungguhnya" , bukan sekedar 'kesediaan diajar'. Sama sekali bukan sebuah
sikap untuk menafikan makna 'kesediaan diajar' yang telah membuat kita menjadi tahu akan tetapi ketika sudah berbicara kunci utama pengembangan manusia
(individu / organisasi) maka kunci itu adalah menjadi 'learner'. Dengan menjadi learner, gap yang diciptakan oleh pemahaman dikhotomistik dari sekian acuan
pengembangan skill dapat dijembatani. Bahkan sebetulnya fakta alamiyah telah lebih dulu menjelaskan bahwa semua 'gained quality' tidak bisa dilepaskan dari
unsur learning di dalamnya termasuk bagaimana cara berjalan kaki bagi bayi.

Supaya bisa menjadi learner lagi seperti bayi, maka syarat yang harus dipenuhi adalah kesediaan menjadi 'beginner' yang selalu dapat melihat materi/objek
dengan lensa baru (creative) dan tanda tanya (curiosity). "You can learn new things at any time in your life if you're willing to be a beginner. If you actually
learn to like being a beginner, the whole world opens up to you." Kata Barbara Sher. Ada kalanya 'block mental' terjadi bukan karena kita tidak tahu tetapi
justru karena kita sudah tahu. (jp)

Tidak ada komentar: