by MTA – Made Teddy Artiana
Lelaki berjanggut panjang keperakan itu memang memancarkan kewibawaan yang besar. Ia tampak duduk tenang dengan mata terpejam. Tangan kirinya terlihat menggenggam sebuah tongkat kayu bersisik berwarna coklat kehitaman. Dihadapan lelaki berjubah putih itu, sekumpulan orang-orang yang membentuk setengah lingkaran, duduk berkeliling. Mereka semua tampak menundukkan kepala. Azarya, sang guru nan bijaksana, pengajar para raja dan pejabat istana, kembali mengumpulkan murid-muridnya. Tetapi tidak seperti hari-hari yang lain, dimana mereka biasa berkumpul di pinggir sungai, bukit atau pelataran istana. Hari ini mereka berkumpul dekat sebuah kandang ternak. Tidak ada seorang pun yang tahu rencana hati Azarya. Diantara lenguhan dan bau ternak, guru dan murid itu, terdiam dengan penuh hikmat.
Perlahan-lahan sang guru mengangkat tangannya. Satu keping talenta emas tampak di terjepit diantara ibu jari dan telunjuk beliau. Benda itu terlihat semakin berkilau ditimpa cahaya matahari. Para murid bergumam tidak mengerti. "Anak-anak ku", sang guru pun mulai bersabda,"Siapakah dari antara kalian yang menginginkan benda ini, jika aku memberikannya? ". Kini semua mata memandang kearah ujung jari Azarya. Sekeping talenta emas. Nilainya setara dengan bayaran seratus hari kerja orang upahan. Sama sekali bukan jumlah yang sedikit. Serta merta belasan orang itu mengangkat tangannya. "Saya guru…saya guru …!!", seru mereka. Sesaat Azarya tersenyum mengelus janggut nya. "Hanya orang yang telah kehilangan akal sehatnya yang akan menolak pemberian satu keping talenta emas ini", lanjut nya sambil menurunkan tangan. Kemudian tangan kiri Azarya bergerak mengambil sebuah mangkuk kecil didepannya. Cairan kermizi yang berwarna merah pekat tampak mengisi separuh mangkuk itu. Perlahan-lahan keping emas itu dicelupkannya ke dalam mangkuk, hingga beberapa saat. "Masihkah kalian menginginkan benda ini ?", tanya Azarya sambil kembali mengacungkan keping emas yang telah berubah warna itu. "Tentu, guru !", jawab para murid serempak.
Azarya memandangi kepingan berwarna merah pekat di tangan nya, tiba-tiba ia membuang keping emas itu kepermukaan tanah sepelempar batu jauhnya. Beberapa muridnya terlihat menggeser tempat duduknya menjauh. "Kau !", tunjuk sang guru ke arah salah satu muridnya,"Tampillah ke muka". Orang yang ditunjuk segera menaati perintah gurunya. "Ludahi keping emas itu !", perintah sang guru. Murid itu tampak ragu, ia memandang bergantian ke arah keping emas itu dan guru nya memastikan apa yang didengarnya. "Lakukan apa yang ku perintahkan" , kata Azarya sambil tersenyum. Segera setelah muridnya meludahi keping emas itu, Azarya kembali bertanya, "Masihkah kalian menginginkan talenta itu ?". "Tentu saja guru", kembali terdengar jawaban dari arah para murid.
"Jika demikian baiklah, kau bertiga ludahi lagi dan injak-injak keping emas itu !!", perintah Azarya. Ketiga orang itu pun melakukan persis seperti yang gurunya perintahkan. Sekarang keping emas itu telah berubah rupa. Permukaannya yang tadinya berkilau kini tak lebih merupakan benda kotor yang sangat menjijikkan. Azarya berdiri, mengibaskan jubahnya, kemudian berjalan menghampiri keping emas itu. Sesaat ia memandangi benda itu, kemudian ikut meludahinya.
"Anak-anakku, lihatlah benda yang menjijikkan itu.", kata Azarya sambil memandangi wajah-wajah mereka,"Masihkah ada seseorang diantara kalian yang menginginkannya ?". Murid-murid saling berpandangan satu sama lain, beberapa diantara mereka tampak mengangguk-angguk. "Tentu Guru kami semua masih menginginkannya" , jawab mereka serempak. Mendengar jawaban para murid, Azarya mengambil sebuah capit dari kayu. Ia memungut benda itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kini dengarkanlah anak-anakku" , sang guru pun bersabda,"kalian dan siapa pun akan tetap menginginkan keping emas itu, karena apapun keadaan yang mata kalian lihat, sekeping talenta emas, tetaplah sekeping talenta emas !"
Murid-muridnya terlihat saling berpandangan, sebagian dari mereka tampak mengangguk-angguk membenarkan perkataan sang guru.
"Serupa dengan keping talenta emas ini", Azarya melanjutkan, "diri kalian pun, senista, secacat, sehina apapun, tetaplah mulia dan berharga. Kemiskinan, kecacatan, keadaan terkeji sekalipun tidaklah sanggup mengubah nilai seorang manusia. Manusia telah diciptakan demikian mulia"
Azarya memandangi murid-murid nya lekat-lekat, setelah itu ia berjalan ke arah kandang ternak yang berada tak jauh dari mereka. Murid-muridnya segera bangkit, mengikuti guru mereka dari belakang. "Seperti apa yang ku janjikan kepada kalian.", kata Azarya sambil menoleh,"Aku akan memberikan keping talenta emas ini kepada siapa pun yang mengingingkannya. Ambilah !". Dengan satu gerakan, Azarya melemparkan keping emas itu ke dalam tumpukan kotoran ternak yang tampak menggunung. Segera saja keping talenta emas itu membenam tak terlihat. Belum lagi Azarya menjauh dari tempat itu, murid-muridnya yang berjumlah belasan itu merangsek masuk ke dalam kandang. Mereka saling mendorong, berdesakan, saling himpit. Tidak sedikit dari mereka yang terinjak-injak oleh temannya sendiri Beberapa orang malah terlihat bergulat diantara kotoran ternak. Yang lain terlihat saling tinju dan saling hantam. Bak dihajar angin puting beliung, serta merta kandang yang semula aman damai itu jadi begitu berantakan. Lembu, kambing, domba berlarian keluar. Pagar kayu dan dinding kandang rusak berat. Azarya sesaat membiarkan kerusuhan itu terjadi, hingga ia merasa waktunya cukup.
"Hentikan !", seru sang guru dan perkelahian itu pun serta merta berhenti,"rupanya kalian belum juga mengerti. Barangsiapa bertelinga hendaklah mendengar ! Camkanlah apa yang ku katakan kepadamu hari ini dan belajarlah darinya."
Azarya segera menghampiri murid-muridnya yang berlumuran kotoran hewan, "Sang Khalik, Pencipta kita, mengerti benar betapa berharga diri kita, manusia-manusia ini. Begitu juga dengan iblis-iblis jahat penghuni kegelapan, mereka juga tahu persis betapa mulianya kita. Satu-satunya yang sering tidak mengerti akan tingginya harga itu adalah kita, manusia itu sendiri. Manusia sering tidak mengetahui betapa mulianya ia dicipta. Bahkan tidak jarang, karena kebodohannya, manusia menukar kemuliannya dengan sesuatu yang sama seklai tidak berharga. Jadi mulai saat ini, jangan biarkan apapun dan siapapun bahkan hidup ini mendustai kalian, dan membuat kalian tidak berharga. Karena kalian jauh lebih mulia dari ribuan keping telenta emas !!".
KPK Ingatkan Larangan Gratifikasi
Sementara itu, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan masyarakat tentang larangan pemberian dan penerimaan gratifikasi terkait hari raya keagamaan selama 2008.
Dalam siaran persnya, Rabu (10/9), pimpinan KPK menyatakan yang dimaksud gratifikasi adalah segala bentuk pemberian kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri terkait dan berhubungan dengan tugas atau pekerjaan atau jabatannya.
Pemberian itu bisa dalam bentuk uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
KPK mendasarkan larangan pemberian/penerimaa n dan pengertian gratifikasi itu pada pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Secara spesifik, KPK juga mengimbau agar masyarakat tidak memberikan ucapan selamat kepada penyelenggara negara secara berlebihan.
"KPK kembali mengimbau kepada masyarakat luas untuk tidak memberikan ucapan selamat kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri dalam bentuk iklan di media massa baik cetak maupun elektronik," ungkap Pimpinan KPK yang diketuai oleh Antasari Azhar dalam siaran persnya.
KPK mengingatkan penyelenggara negara atau pegawai negeri yang telah menerima gratifikasi dalam segala bentuk termasuk yang terkait perayaan hari-hari raya keagamaan tahun 2008 agar melaporkan penerimaan tersebut kepada KPK, selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya gratifikasi tersebut.
Selanjutnya KPK akan menetapkan status kepemilikan gratifikasi tersebut apakah menjadi milik negara atau milik penerima.
Mungkin anda pernah mendengar ungkapan berikut ini: "If you are not
in the table, you will be in the menu." Jika anda tidak duduk dimeja
makan, maka anda akan menjadi menunya. Tentu kita sepakat bahwa
lebih baik duduk dimeja makan daripada menjadi menunya, bukan?
Namun, namanya juga ungkapan; tentu bukan pesan harfiahnya yang
perlu kita perhatikan. Melainkan `makna sesungguhnya' dari pesan
itu. Jadi, apa sih sesungguhnya pesan yang ingin disampaikan
ungkapan itu? Kira-kira demikian; didalam dunia yang penuh
persaingan ini, kita tidak bisa tinggal diam - menunggu seseorang
melakukan sesuatu untuk kita. Kita sendirilah yang harus mengambil
tanggungjawab itu. Karena, jika kita diam saja; maka kita ini tidak
ubahnya seperti menu makanan yang terbaring pasrah dimeja makan.
Ingat nasib menu dimeja makan? Tentu. Sebentar lagi dia akan
dikunyah. Ditelan. Dan dua belas jam kemudian akan dibuang dalam
bentuk yang anda tidak ingin melihatnya. Dengan kata lain, jika kita
berdiam diri saja; pihak lain akan mengambil manfaat yang bertebaran
disekitar kita. Sementara mereka menjadi sejahtera; kita hanya bisa
menjadi objeknya saja. Kita tidak ingin mengalami hal sedemikian,
bukan?
Pagi itu saya bermaksud untuk menikmati sarapan. Saya memilih untuk
menyantap soup berisi sayuran. Asyiknya, saya boleh memilih jenis
sayuran apa yang hendak diramu dalam soup itu. Meletakkannya dalam
mangkuk. Lalu menyerahkannya kepada sang koki yang dengan sigap akan
memasakkan soup itu hanya dalam 3 menit saja. Pagi itu, gerakan saya
agak terhenti, karena sayur favorit saya tidak ada. Lalu, saya
bertanya; "Wah, tauge-nya tidak ada ya Pak?" Si koki tersenyum lalu
menjawab:"Maaf Pak, taugenya sedang kosong…." katanya. Tanpa sayuran
yang banyak mengandung vitamin E itu, saya merasa soup itu kurang
lengkap. Tapi, mau bagaimana lagi? Akhirnya saya menerima saja
keadaan itu.
Sesaat setelah saya menyerahkan mangkuk berisi sayuran pilihan itu,
sang koki berkata. "Sebenarnya ada sih taugenya Pak…," katanya. Dahi
saya mengerut. Sambil berbisik didalam hati; `maksud elo….?' "Tapi,"
koki tersebut meneruskan "hanya tauge lokal, Pak.." katanya.
"Tauge lokal bagaimana?" saya bertanya.
"Iya, Pak, lokal. Bukan tauge import."
Bisakah anda membayangkan itu? Seorang koki berkebangsaan Indonesia.
Bekerja di hotel berbintang lima yang berlokasi di Indonesia.
Melayani klien yang berbahasa Indonesia. Merasa menyesal untuk
memberikan tauge hasil kerja keras petani Indonesia.
Bagi saya, kenyataan ini cukup memilukan. Karena, ini menunjukkan
bahwa sikap inferioritas kita sudah sedemikian kronisnya sehingga
untuk urusan barang senilai tauge pun kita tidak memiliki
kepercayaan diri yang cukup. Dengan ungkapan diatas itu,
sesungguhnya saya ingin menekankan kepada diri saya sendiri tentang
betapa pentingnya untuk bersikap proaktif, dan berani mengambil
resiko untuk melakukan sesuatu bagi diri sendiri. Bukan berdiam diri
saja sambil menyerah pasrah atas tindakan apa saja yang akan orang
lain timpakan pada diri saya. Jadi, lebih baik duduk dimeja makan
daripada menjadi menu yang tersaji diatas meja makan itu. Tetapi,
kejadian dipagi itu, menjadikan mata saya terbuka lebar, bahwa;
bangsa ini sedang mengalami krisis yang begitu kritis dimana
jangankan untuk duduk dimeja makan, bahkan untuk 'menjadi menu
diatas meja makan itu pun' ternyata tidak memiliki cukup nyali.
Jujur saja. Saya sedih. Sedih sebagai anak bangsa. Sedih sebagai
anak petani. Dan sedih sebagai anak manusia yang sangat menyukai
tauge. Tetapi, kesedihan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut,
katanya bukan? Baiklah. Jika demikian, hikmah apa yang bisa kita
bawa pulang? Mari kita camkan hal berikut ini: 'Jangankan untuk
duduk dimeja makan, untuk menjadi menu yang tersaji dimeja makan pun
dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan'. Sehingga, kita tidak
mempunyai pilihan lain, selain menjadi yang terbaik dikelasnya. Jika
kita ini adalah seorang tauge, maka menjadi tauge yang terbaik
dibandingkan dengan para tauge lainnya adalah satu-satunya kondisi
yang bisa menjadikan kita terpilih sebagai tauge pertama yang diberi
kesempatan untuk menghiasi meja makan. Sebab, jika kualitas kita
tidak cukup bagus – apakah itu karena persepsi orang lain, atau
memang kenyataannya kita ini tauge jelek; maka tidaklah ada gunanya
kita berharap bahwa seseorang akan memilih tauge dari jenis diri
kita untuk menjadi bagian dari masakan prestisius yang disajikan
seorang koki restoran.
Jadi? Jadi, ini bukan saatnya bagi kita untuk bermanja-manja, ya?
Bahkan, bekerja dan berusaha saja tidaklah cukup rupanya. Jaman
dahulu kala; mungkin kita bisa bilang 'sudah saya kerjakan'. Tapi
sekarang, itu tidak lagi cukup. Anda bekerja. Saya bekerja. Mereka
bekerja. Siapa yang pekerjaannya lebih baik? Dialah yang mendapatkan
kesempatan. Sedangkan yang lain? Maaf, anda harus mengantri dalam
waiting list. Jika orang lain masih ada; maka anda tidak akan kami
pakai. Jika orang lain selamanya ada, maka anda selamanya akan
terbengkalai. Jika orang lain terus menerus lebih baik dari anda,
maka anda akan terus menerus pula terlunta-lunta.
Oleh karena itu, sekarang kita mesti lebih sadar bahwa merasa
berpuas diri itu bisa membahayakan. Ini sama sekali tidak
berhubungan dengan keserakahan. Karena, konteks yang tengah kita
bahas adalah tentang mengimbangi dunia yang penuh persaingan. Jika
kompetitor kita lebih baik; mengapa kita masih merasa yakin bahwa
seseorang masih akan mempertahankan kita? Jika ada pekerja yang
lebih baik dari kita, mengapa kita masih mengira bahwa perusahaan
akan terus mempekerjakan kita? Padahal, kita semua sudah tahu bahwa
perusahaan manapun tidak ada yang mau berkompromi dengan pegawai
yang tidak memiliki daya saing. Bahkan, kenyataannya sekalipun orang-
orang itu berkualitas tinggi; tidak jarang kena pengurangan juga.
Coba saja perhatikan; banyak perusahaan besar yang akhir-akhir ini
mengurangi jumlah karyawannya. Dan banyak petunjuk yang membuktikan
bahwa itu tidak semata-mata dilakukan karena karyawannya kurang
berkualitas. Memang, ada diantara mereka yang kurang bagus; tetapi,
pengurangan karyawan secara masal lebih banyak disebabkan karena
perusahaan itu sudah tidak lagi sanggup untuk mempertahankan
semuanya. Jadi, suka atau tidak, mereka melakukannya. Jika sudah
demikian; apa yang bisa kita lakukan? Demo? Boleh saja. Tetapi, jika
perusahaan sudah menunjukan itikad baik dengan melakukan semua
kewajibannya sesuai dengan undang-undang; apakah kita masih memiliki
alasan untuk melawan?
Hey, ternyata masalahnya menjadi semakin kompleks. Bahkan, menjadi
orang yang bagus pun tidak dijamin terus dipekerjakan. Jadi, apa
gunanya punya kualifikasi bagus jika demikian? Bukankah lebih baik
santai-santai saja? Toh, sudah kerja keraspun akhirnya terhempas
juga. Sungguh sebuah pemikiran yang menggoda. Tapi hey, lihat.
Berusaha untuk menjadikan diri kita memiliki daya saing itu masih
jauh lebih menguntungkan. Jika perusahaan kita baik-baik saja;
mungkin kita bisa mendapatkan bonus yang menggiurkan. Mungkin kita
akan dipromosikan. Atau, setidaknya; kita bisa diandalkan. Jika
perusahaan kita terpaksa harus melakukan penghematan; mungkin kita
bisa dipilih untuk tetap dipertahankan. Jika itu pun tidak bisa,
mungkin perusahaan lain akan menyukai kualifikasi yang kita miliki.
Tidak rugi bukan? Kalau tidak ada yang mau juga? Mungkin apa yang
kita bangun dan kembangkan selama ini bisa menjadi bekal bagi kita
untuk hidup mandiri. Apa bedanya?
Jadi, bagaimana pun juga. Membangun kompetensi dan kualitas tinggi
itu tetap lebih menguntungkan. Bukan hanya untuk meningkatkan daya
saing kita. Atau berjaga-jaga jika situasi sulit menerpa kita.
Tetapi yang lebih penting lagi adalah, kita bisa menunjukkan kepada
sang pemilik jiwa bahwa; kita sudah mengoptimalkan semua yang
diamanahkan- Nya kepada kita.
Sebuah kisah inspirasional dari negri China
13 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar