Kamis, 25 September 2008

Nggak Sekolah ? So What Gitu Loh !!


By Made Teddy Artiana, S. Kom

"Gawat ! Adik gue DO, Mas", curhat salah seorang freelanche graphic designer yang bekerja pada kami. Berita yang tidak terlalu menarik sebenarnya dibanding aliran dana BI. "Emang dia kuliah dimana ?" sahut ku ngasal sekedar menanggapi. "Dia baru SMA. Karena hobby ngerakit motor. Dia jadi lupa sekolah dan akhirnya dipecat dari sekolah. Padahal sekolah khan mahal !!". Singkat cerita sang teman kemudian menceritakan lengkap tentang 'permasalahan' sang adik yang dia anggap sudah memusingkan keluarga. Akhirnya percakapan jadi menarik. Masih SMA dan dipecat gara-gara hobby nya dibidang automotif. Yang lebih menarik adalah ujung ceritanya (meskipun bukan berarti tamat). Sang adik akhirnya menciptakan sebuah motor. yang menjadi pemenang pertama perlombaan disebuah majalah otomotif terkenal.



Serupa tapi tak sama. Fenomena menarik dialami juga oleh artis Memes, istri Adie MS seorang composer ternama di tanah air. Anak mereka, tidak mau bersekolah lagi. Pasalnya, ia menganggap sekolah umum itu, tidak lain dan tidak bukan hanyalah buang waktu percuma. Kok bisa ? Begini penjelasan sangat-sangat logis sang anak. Ia hobby musik, cendrung tergila-gila dan ia ingin menghabiskan 50% waktu berharganya untuk mempelajari musik. Kalau saja ia terlahir dari keluarga yang buta musik, contoh dokter, pengacara atau bisnisman, mudah ditebak hal ini akan menyulut perang dunia dengan ortunya. Beruntung, anak ini punya mama penyanyi terkenal dan papa, komposer kenamaan. Jadi, walaupun tidak mudah (baca : tidak seperti yang lain), orang tuanya bisa mengerti.



Mirip dan agak menggelikan dibanding kedua contoh diatas. Sedari dulu, saya punya hobby mengumpulkan artikel dari berbagai media. Internet, koran atau majalah. Beberapa tokoh terfavoritepun masuk DPO (Daftar Pencarian O..artikel). Gede Prama, siapa yang tidak kenal beliau. Pembicara sekaligus Sang Resi dalam hal manajemen, bisnis dan kehidupan, tentu saja masuk list. Bukan karena alasan kesukuan, tetapi memang saya pribadi mengganggap beliau termasuk asset berharga bangsa ini. Uniknya, disebuah artikel beliau pernah bertutur kurang lebih begini….(kalau keliru sedikit mohon dimaafkan ya Bli Gede…sesama orang Bali..tentu punya T yang mantep). "Kalau Anda mau sukses Anda harus berani lebih dari orang lain. Jika orang lain punya satu gelar, Anda harus punya dua…dsb..dsb" . For your info, Gede Prama memang punya dua gelar yang beliau dapat dari luar negeri sana. Artikel itu membuat saya ingin kuliah lagi. Sarjana rasanya tidak cukup lagi. Lebih afdol jika ditambah dengan sebuah gelar Master…minimal MM. Lama berselang. Beberapa bulan selanjutnya Sang Resi menulis sebuah artikel yang agak mencengangkan, bagi saya pribadi tentunya. Artikel itu berjudul : Sekolah Bikin Muntah ! Dalam artikel tersebut Gede Prama menyamakan sekolah dengan sebuah kebiasaan 'jaman doeloe' di Bali sana. Pembelajaran guru dengan murid, disamakan dengan seorang anak balita yang memakan makanan yang sudah dikunyah oleh ibunya. Beliau juga menyebutkan betapa mereka yang bersekolah lama-lama dan tinggi-tinggi sebagian besar berubah jadi semacam monster 'pinter' sekaligus dingin dengan paradigma kaku yang akhirnya jadi mesin sok tahu. Terlalu terstruktur jika dibandingkan dengan keacak-randoman permasalahan dalam dunia bisnis sekarang ini. Ada apa dengan Bli Gede sebenarnya…? Mungkin hanya beliau yang tahu pasti. Apakah dalam perjalanan hidup beliau bertemu suatu permasalahan yang hanya dapat dipecahkan dengan cara mengacak-acak otak pinter yang sudah kaku terstrutur ? Entahlah. Perjalanan saya tentunya masih seumur palawija jika dibanding dengan beliau.



Yang pasti jika boleh saja disimpulkan, sekolah umum sudah bukan lagi jamannya menjadi syarat dalam kehidupan ini. Bukan merupakan 'mas kawin' yang merupakan syarat mutlak sebuah perkawinan. Menjadi programer komputer misalnya, hanya membutuhkan seperangkat komputer dan buku-bukunya, tidak membutuhkan embel-embel S. Kom (Sarjana Komputer) yang muahaaaal padahal belum tentu menjadi jalan mutlak dan 'satu-satunya' bagi seseorang untuk sukses. Untuk yang satu itu sepertinya pengalaman pribadi J. Hal yang sama berlaku untuk beberapa profesi yang lain, memang tidak semua. Untuk jadi Marketing misalnya, memang harus belajar marketing, tetapi tidak harus berijasah marketing. Untuk jadi pengusaha tidak mesti jebolan sekolah bisnis. Jika demikian berarti permasalahan BIAYA SEKOLAH yang seolah momok sebenarnya bukan kiamat bagi kaum kebanyakan. Punya uang ? Silakan sekolah. Nggak punya uang? Bukan masalah..ya nggak usah sekolah ! Belajarlah sendiri. Simple dan nggak perlu pusing. Ketidakmampuan bersekolah atau kuliah tidak perlu melahirkan gejala minder wader muter kompleks (istilah saya pribadi). Pertama-tama bagi sang anak, kedua bagi orang tua. Jangan sampai, syarat basi (baca : titel, gelar dsb) membuat banyak orang tua stress dan tampak menjadi tiga kali lebih tua dari umur sebenarnya. Memang, persoalan sekolah lebih-lebih saat sekarang ini, lebih mirip hantu dibanding malaikat. Biaya sekolah seolah mampu menciptakan garis tegas diantara miskin dan kaya. Disini peran orang tua kembali sangat dibutuhkan. Memberikan arah dan pencerahan bagi kaum muda. Kemandirian untuk dapat belajar sendiri. Era agraris dan industri sudah berlalu, zaman sudah berudah, meskipun gaya pendidikan sekolah masih monoton. Kita semua tentu berharap jangan sampai, era informasi dan hightech membuat sekolah tradisional tampak seperti babi gendut ditengah kumpulan kijang-kijang yang melompat indah kesana kemari. Atau seperti badut tambun diantara kontes perut sixpack sebuah produk susu para lelaki. Sudah saatnya urutan "WATI-BUDI-IWAN" jaman kuda dulu diacak atau diganti dengan "WARNO-ANGEL- IJAH" dan kalimat "INI BUDI" diganti dengan kalimat yang lebih kritis seperti "MANA WARNO ?"



Menutup tulisan ini ada sebuah cerita sederhana menarik yang menggelitik. Adalah seorang pelajar yang duduk dikelas dua SMA. Berasal dari keluarga sederhana dan sama sekali tidak pandai di sekolahnya. Kini sudah punya penghasilan jutaan rupiah perbulan dari hasil menjadi guru privat musik bagi anak-anak orang kaya. Berawal dari gitar 'cumi' tetangga (Cuma minjem), pemuda belia itu kini sudah mengambil alih peran orang tua dalam persoalan finansial. Jadi seandainya saja Anda sepakat dengan saya, sekolah tentunya bukan TUHAN yang akhirnya menjadi penentu satu-satunya jalan hidup Anda. Jika satu hal itu membuat hidup yang indah ini menjadi begitu membebani Anda dengan sejuta syarat. Gampang…kalikan dia dengan NOL..! (alias lupakan saja). Tidak ada selain TUHAN tentunya yang begitu menentukan dalam hidup ini, termasuk syarat berlebel : SEKOLAH. Semua ini tentunya bukan mengisyaratkan sentimen anti sekolah. Apalagi pelecehan terhadap profesi guru. Sama sekali tidak. Justru ini sebaiknya dipahami dalam kerangka yang lebih luas dan postif tentunya. Karena sampai kapanpun pendidikan dan pembelajaran selalu mutlak perlu, tetapi 'sekolah'..sangat- sangat relatif.



-------------
Semua Terjadi Karena Suatu Alasan
Oleh : Frank Slazak

Kesaksian Hidup dibalik Meledaknya Pesawat Luar Angkasa Challenger, USA.

Semua dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan seorang pilot. Namun, sesuatu pun terjadilah.

Gedung putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan! Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku.

Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center. Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir.
Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara.
Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini?
Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa.

Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA memilih Christina McAufliffe. Aku kalah. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku? Bagian diriku yang mana yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam? Aku berpaling pada ayahku. Katanya, "Semua terjadi karena suatu alasan."

Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang. Aku teringat kata-kata ayahku,
"Semua terjadi karena suatu alasan."

Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini.
Aku memiliki misi lain dalam hidup.
Aku tidak kalah; aku seorang pemenang.
Aku menang karena aku telah kalah.
Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan.

Tidak ada komentar: