Ubaydillah, AN
Ada pandangan yang kontradiktif di masyarakat kita tentang gelar akademik. Tak sedikit yang berpendangan bahwa gelar akademik itu sama sekali tidak penting. Sesungguhnya, pandangan demikian bukan disebabkan oleh gelar itu sendiri, namun disebabkan banyaknya orang yang merasa kurang diuntungkan dari gelar akademis yang dimilikinya. Sampai-sampai, ada istilah “sarjana pengangguran” , “Sia-sia saja empat tahun bergelut dengan buku akhirnya susah mencari kerja”, kata Iwan Fals.
Namun di lain pihak, tak sedikit yang tetap berpandangan bahwa gelar itu sangat penting. Hampir semua iklan lowongan kerja yang dibuka untuk pasar umum menetapkan gelar atau sertifikasi akademik (kursus dan diploma) sebagai persyaratan. Lebih-lebih lagi untuk jabatan-jabatan yang berkaitan dengan posisi di pemerintahan.
Kenyataan yang mencerminkan pandangan kedua ini juga bisa kita lihat dari praktek hidup sehari-hari. Andaikan gelar itu tidak penting, tentu tak akan ada calon legislatif kita yang ditemukan aparat ternyata bergelar palsu (aspal). Andaikan gelar itu tidak penting tentu jumlah perguruan tinggi tidak sebanyak yang ada di negara kita ini. Adanya pro-kontra pandangan demikian tentu bukanlah masalah bagi jalannya kehidupan secara umum.
Semua orang sudah bisa memaklumi bahwa di dunia ini memang sudah sewajarnya harus terjadi pro dan kontra. Lalu, dimana letak masalahnya?
Gelar akademik akan menjadi masalah jika diri kita bermasalah, seperti adanya konflik-konflik dalam diri yang akhirnya membatasi pemberdayaan- diri, pendidikan-diri, dan pembelajaran- diri kita.
Mental Kuat Vs Mental Lemah
Tentu saja, baik kita memilih antara gelar akademik itu penting atau tidak penting, keduanya jelas benar. Benar di sini punya pengertian memiliki data-data faktual di lapangan. Semudah kita menemukan orang bergelar atau tidak bergelar bisa berprestasi tinggi, semudah itu pula kita menemukan orang tak bergelar atau bergelar yang belum / tidak berprestasi tinggi.
Kira-kira inilah kalau kita bicara kenyataannya secara umum. Hanya saja, ketika kita bicara kenyataan spesifik dan kenyataan riil bagi setiap individu, persoalannya akan sedikit berbeda dan hal ini erat hubungannya dengan sikap mental.
Ada 2 macam sikap mental, a) sikap mental lemah dan b) sikap mental kuat.
Sikap mental lemah, adalah ekspresi penyikapan yang dilandaskan pada kesimpulan kalah oleh realita, hanyut ke dalam realita.
Sementara sikap mental kuat adalah ekspresi penyikapan yang dilandaskan pada kesimpulan menang, bergerak menginjak realita. Adakah orang yang sanggup mengalahkan realita? Tidak ada orang yang sanggup melawan realita. Tetapi, pengertian
kalah di sini, adalah kegagalan kita menemukan bagian spesifik dari realita yang tepat untuk memberdayakan diri kita.
Mengapa kita perlu memilih sikap mental kuat dan memilih menjadi pemenang? Kenyataan itu, kata orang bijak adalah keragaman yang menyatu dengan keseragaman, perbedaan yang menyatu dengan persamaan, dan punya dimensi yang tak sanggup dirangkul kekuasaan apapun. Tetapi, kenyataan adalah potensi yang cukup cair sehingga oleh Samuel Butler dikatakan: “Hidup ini seni”, life is an art. Namanya seni, berarti sebagian besar keindahan sebuah kreasi lebih banyak ditentukan oleh sikap mental untuk menyentuh, bukan tergantung pada bahan baku. Batu bisa hanya sekedar menjadi batu
tetapi bisa pula menjadi patung yang bernilai.
Perbedaan pola sikap mental yang kita gunakan dalam melihat kenyataan, akan menciptakan perbedaan kesimpulan mental (hasil makna) yang kita pahami. Perbedaan kesimpulan akan membedakan keputusan, dan perbedaan keputusan akan membedakan (rencana) tindakan, perbedaan tindakan akan membedakan kebiasaan dan perbedaan kebiasaan akan membedakan karakter (prilaku menghadapi hidup) dan perbedaan di tingkat karakter akan membedakan perbedaan tanggapan (feedback) yang dikeluarkan oleh kehidupan kepada kita. Mungkin inilah sedikit urut-urutan dari kesimpulan yang sering kita
dengar bahwa: “Dunia di dalam, akan menentukan dunia di luar.” Nasib adalah pilihan, buka hadiah dari peluang.” “Man behind the gun.” “Jika kau mengubah dirimu akan berubah nasibmu.” Dan sejumlah ungkapan lain yang kira-kira punya arah kesimpulan senada.
Jadi, segala sesuatu banyak tergantung pada orangnya. Kata-kata “tergantung orangnya” ini menunjuk sikap mental (mental attitude), strategi yang kita pilih untuk menyikap hidup, jalan hidup yang kita gunakan untuk mendapatkan keinginan, dan seterusnya. “Hidup ini adalah pemainan”, kata firman kitab suci. “Separoh dari permainan hidup ini dimenangkan oleh sikap mental”, kata Danny Ozark (Half this game is 90 % mental). “Kemenangan para juara di lapangan itu (sepertinya) adalah kebiasaan dan gaya hidup. Celakanya demikian pula kekalahan”, kata kesaksian Vince Lombardi yang sudah bertahun-tahun hidup bersama para atlit.
Hubungannya dengan harga sebuah gelar yang kita miliki dan gelar yang tidak kita miliki adalah, harga sebuah gelar pada praktek hidup yang paling spesifik lebih banyak ditentukan bukan oleh angka yang melekat pada gelar itu, tetapi oleh bagaimana kita mengolahnya menjadi indah; ditentukan oleh sikap mental yang kita pilih untuk menyikapi realita yang pro-kontra terhadap gelar, atau bagaimana kita menjatuhkan kartu bermain dari kartu apapun yang sudah kita miliki. Mark Twin pernah bilang: “Hidup ini bukan persoalan kartu apa yang kita terima, tetapi kartu apa yang kita pilih untuk kita jatuhkan.”
Penting dan tidak pentingnya gelar itu bagi kita adalah pilihan, kebebasan dan kesimpulan pribadi. Tetapi yang perlu kita audit adalah untuk apa kesimpulan itu akan kita gunakan? Bergelar dan tidak bergelar akan sama saja tak banyak menolong kalau kita menggunakannya untuk mencari alasan yang hanya akan memperlemah diri (self excusing). Meminjam ungkapan Pak Bob Sadino, kesimpulan memperlemah ini akan membuat kita kehilangan momen untuk melakukan sesuatu, kehilangan daya kreatif, dan inovasi. Bisa jadi, kesimpulan ini juga berpotensi untuk memversikan Tuhan sebagai pihak yang selalu salah memberi sesuatu kepada kita.
Proses Belajar
Salah satu hukum yang pernah digagas oleh Aristotle sebelum meninggal adalah “The law of success” (Hukum Merealisasikan Tujuan Bertahap). Isinya adalah, apa yang menjadi keharusan bagi kita yang ingin merealisasikan tujuan itu? Di sini Aristotle
merumuskan tiga hal inti yaitu:
1) kejelasan keinginan,
2) kejelasan alat yang kita pilih,
3) kejelasan sikap mental yang kita pilih.
“Pertama kali memilikilah tujuan hidup yang jelas. Kedua, milikilah cara untuk mencapai tujuan. Cara itu beragam dan bisa anda pilih: materi, metodologi, uang, atau kepribadian. Ketiga, gunakan yang anda miliki untuk mencapi tujuan.”
Kalau formula itu akan kita gunakan untuk memberi angka-jual gelar akademik yang kita miliki atau tidak kita miliki, maka kuncinya adalah:
1. Ekspresi keinginan spesifik,
2. Kecocokan antara keinginan, alat dan hukum kebiasaan
3. Kreativitas menggunakan alat untuk mencapai keinginan.
Salah satu jurus yang bisa kita gunakan untuk mengeksplorasi keinginan yang benar-benar spesifik bagi kita adalah pertanyaan-diri (self-questioning) , misalnya saja: “Apa yang bisa saya lakukan dengan apa yang sudah saya miliki dalam hidup ini, untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik?”. Semakin banyak jawaban yang kita temukan akan semakin bagus sehingga kita memiliki banyak pilihan untuk menyusun langkah berdasarkan skala prioritas utama.
Merujuk pada formula ini berarti gelar atau tanpa gelar itu masuk dalam wilayah alat. Seperti dikatakan Aristotle sendiri, alat ini jelas bukan hanya itu, bukan satu, dan sebanyak pilihan kita kecuali kita membatasi pilihan itu. Dan yang penting, pilihan kita terhadap alat ini adalah kecocokan yang sifatnya sangat pribadi. “Orang akan mencapai kualitas tertentu kalau dia terus melakukan sesuatu dengan cara / jalan tertentu”, begitu Aristotle menambahkan.
Karena kepemilikan gelar akademik ini sebagian besar lebih ditentukan oleh hasil penilaian pribadi kita, maka kreativitas menjadi sangat dibutuhkan. Meskipun kita adalah makhluk yang unggul, tetapi jika penilaian kita atas diri kita tidak menghasilkan kesimpulan yang berarti, maka hampir dipastikan kita menghadapi kenyataan yang sama dengan penilaian kita terhadap diri sendiri. Robert Kiyosaki menyimpulkan bahwa kegagalan itu akan menghancurkan orang kalah (loser) tetapi akan memberi inspirasi maju bagi orang menang (winner). Kesimpulan ini tentu tak akan jauh dari sikap mental kuat, kemampuan
mengolah apa yang sudah kita miliki dan bagaimana menggunakan apa yang kita miliki untuk mencapai apa yang kita inginkan. Semoga bermanfaat.
--------
Pandangan
Beberapa orang, sangat terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, orang yang hanya melihat hal-hal dari satu sisi, terlibat pertengkaran dan perselisihan
Kebahagiaan
Orang harus berlatih melakukan perbuatan yang bermanfaat, yang menghasilkan kebahagiaan yang berlangsung baik, dermawan, hidup seimbang, mengembangkan pikiran yang penuh cinta kasih, dengan mengembangkan tiga perbuatan ini, yaitu perbuatan yang membuahkan kebahagiaan
Bijaksana
Oleh 3 hal seseorang yang bijaksana dapat dikenali,
1. ia melihat kesalahannya sendiri apa adanya,
2. ketika dia melihat kesalahan itu apa adanya, ia akan memperbaiki kesalahan tersebut,
3. ketika ada orang lain yang mengakui kesalahan, selayaknya ia memaafkan kesalahan orang itu
-------
DO YOU KNOW HOW TO GET THE BEST FROM YOUR STAFF? TALK TO THEM!
Have you ever delegated work only to receive a finished product that is nothing like you envisioned? Is there a manager at your company that nobody wants to work for? Is there an area of your company suffering from disproportionately high turnover? A "yes" to these questions could be signs of poor communications skills.
• Managing by E-Mail. Would you try to close a deal with a large customer via e-mail or hire a key executive without meeting the individual? Of course not, but often the same managers who know that personal contact is the key to interpreting a person’s character often choose to "manage by email"—even when workers are in offices a few steps away. Direct contact helps create better rapport and trust.
• Lack of Clarity. Managers often assume that when they give instructions, everyone understands them and is ready to take action. Different people can make different deductions from the same information. When giving assignments, instead of saying, "Do you understand?" ask: "What steps will you take to complete this task?"
• Poor Listening Skills. Managing isn’t all about giving assessments and instructions. It is just as important to listen as it is to be heard. Solicit feedback from employees. Consider their suggestions and treat concerns seriously.
• Failure to Give Consistent Feedback. Some managers don’t tell employees what they are doing right or wrong during the course of the year, and then, at annual review time, they drop a bombshell on the unwary. People want the opportunity to develop and improve throughout the year, so provide continuing, constructive, on-the-job feedback focusing on situations as they arise.
• No Tact and Empathy. There are managers that have no problem giving feedback, as long as it is negative. They pick away at the most minute details of perceived problem areas, but never offer a word of thanks or praise. Constant criticism is demotivating. Highlight the positive as well as the negative, and correct mistakes without getting personal. Employees will be more likely to listen.
• Too Busy to Manage. Managers are busier than ever with their own heavy workloads, but many forget that an important part of a manager’s job is managing. It is critical to carve time out of your schedule for regular one-on-one and employee group meetings, and offer your undivided attention during these meetings to demonstrate to employees that you consider them a priority.
Adapted fromTHE HR ANSWER BOOK An Indispensable Guide for Managers and Human Resources Professionals by Shawn Smith, JD and Rebecca Mazin
-------
Build a More Meaningful Career
by Robin Ryan
11,000 days. That’s the number of days you’ll probably work over your lifetime. You’ll likely have six or seven career changes and 11 or 12 jobs in total. You may be wondering if you need a change now. 30 million people go to work each day to a job they hate. The harmful feelings permeate their entire life, putting a negative cloud over the home, their friends and many of their other activities. They may lack the know-how to change, may be afraid of leaving the security of a paycheck, or have a hundred excuses for why it’s okay to be so dissatisfied and stay at their job.
There is a better way to live your life. Meaningful purpose is a driving force that adds enthusiasm to your days. Taking a passion and making it your career -- living a dream -- can be not just a wish, but a true and certain reality. Here are a few steps to get the new career rolling:
Do some self-analysis. Ask yourself -- What really matters to me? What problem or wrong would I like to fix? What do I enjoy? Where are my interests and hobbies? What are my priorities? What is my secret passion? What do I want to do with the rest of my life? Reviewing these questions can give you new insight to where you want to go.
Use your unique genius and talents. Every person is born with a unique set of natural abilities. Talents, such as managing, creating, researching, training others, drawing, can all seem like easy work because you have a natural flair for them. True happiness comes from combining your natural talents, developing and excelling in them, and working in a field, job, industry that you have a passionate interest in.
Others have done it and so can you. Sometimes it’s easy to forget that we can change if we really want to. Although she was a prominent lawyer, my client Sarah was dissatisfied in her work, and glad to take a few years off to have two children. She told me she hated “practicing law.” She found it boring, yet she felt enormous guilt at abandoning a career she spent years training for and made great money in. We worked together, focusing on her real interests and natural talents. Sarah landed a terrific new job as an executive director for a nonprofit organization. She leads others, influences policies, develops programs, and is a very happy person. “I even make a great salary, but I love my job so much, I’d do this for free,” she said.
Make a decision. Many people flounder for years and never turn their dreams into reality. They let themselves remain in a negative or stuck place. Only action can change your life. Read a book. Take vocational tests. Use a good career-management professional. Do some career exploration and gather all the information you need. Then make a decision and go forward. Outline the action steps to reach your career goal. The only thing at stake is your happiness. Finding meaning, passion and purpose every day you go to work is the wonderful reward, so don’t wait any longer. Begin right now and set in motion your own plan to live a happier, more satisfying life.
Ekspansi Barcelona
Barca Goes to America
Liga Sepakbola Amerika alias Major League Soccer (MLS) bakal menambah jumlah peserta dari 14 menjadi 18 klub pada 2010. Kebijakan baru tersebut dimanfaatkan Barcelona untuk merambah Amerika Serikat.
Ya, klub yang sudah mengoleksi 18 gelar juara La Liga tersebut berniat membeli hak kepemilikan atas Miami Fusion dan membawa klub asal Florida itu tampil kembali di MLS.
“Keinginan perusahaan saat ini adalah menyodorkan aplikasi kepemilikan dan mempromosikan klub itu ke MLS," demikian pernyataan Barcelona seperti dimuat dalam situs The World Game.
Usaha tersebut tidak dilakukan Barcelona sendirian, tapi bekerja sama dengan pengusaha asal Bolivia, Marcelo Claure, yang juga pemilik FC Bolivar.
Kabarnya Presiden Barcelona, Joan Laporta, sudah menyodorkan proposal sebagai pemilik baru Miami Fusion, tetapi perjuangan untuk bisa tampil di MLS masih panjang. Pasalnya pihak penyelenggara menuntut klub pendatang baru memiliki stadion sendiri.
“Belum ada rencana pasti tentang stadion yang bakal digunakan. Namun, solusi terbaik adalah menggunakan fasilitas Florida International University. Negosiasi sudah dilakukan dan kemungkinan besar klub bakal menggunakan fasilitas mereka selama dua tahun pertama,” begitulah penjelasan dari pihak Barcelona.
Miami Fusion sebenarnya bukan klub baru di MLS. Klub yang berdiri pada 1997 itu pernah menjadi bagian Liga Sepakbola Amerika selama tiga tahun sejak 1998 sebelum bangkrut pada 2001. Dulu Miami Fusion menggunakan fasilitas Lockhart Stadium, yang berkapasitas 20.450 penonton.
Jika usaha Barcelona berhasil, maka klub Catalan itu bakal menjadi klub Eropa pertama yang menjadi pemilik tim MLS. Fakta tersebut otomatis akan mendongkrak popularitas mereka di luar Eropa.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa klub-klub Eropa tengah berlomba meraup keuntungan besar dari pasar Asia dan Amerika. Sejauh ini Manchester United dan Real Madrid yang paling agresif melakukan penetrasi di kedua benua tersebut.
Namun, bukan tidak mungkin Barcelona bakal mengungguli popularitas keduanya jika sukses mengakuisisi Miami Fusion.
Sebuah kisah inspirasional dari negri China
13 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar