Senin, 20 Oktober 2008

TENTANG KEADILAN DI TEMPAT KERJA



Tom Cannon

Perusahaan menghadapi masalah rumit yang disebabkan oleh sifat dan komposisi
pekerja yang ada di perusahaan itu. Ini terkait dengan kesempatan yang
diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat untuk bekerja di perusahaan
tersebut, ternyata berbeda. Hal ini tidak bisa diterima begitu saja, karena
fungsi ekonomi perusahaan sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat jika
semua anggota masyarakat mendapat peluang yang sebanding, atau paling tidak,
mengambil keuntunan dari penerapan fungsi tersebut. Namun tanpa disadari tak
sedikit perusahaan memasang hambatan dan ketidakberuntungan bagi anggota
masyarakat tertentu, seperti wanita, etnis minoritas, dan orang-orang cacat.
Kini perusahaan ditantang tanggung jawabnya untuk mengenyahkan
hambatan-hambatan itu dan menempatkan keadilan sebagai agenda bisnis pada
dekade mendatang. Dan ini sudah seharusnya dilakukan mulai dari sekarang.

BEBERAPA CONTOH

Setiap tahun ARCO mempunyai kebijakan perusahaan untuk "memeriksa ulang
kinerja pemberian kerja secara merata dari sepuluh perusahaannya yang
beroperasi". Levi Strauss mempunyai komitmen pada publik untuk
"mempekerjakan orang tanpa mempertimbangkan ras, agama, warna kulit, jenis
kelamin, usia, bangsa, cacat, atau penampilan". Sedangkan IBM menempatkan
pemerataan kesempatan dalam inti nilai perusahaan. Control Data berusaha
menolong orang-orang yang terhambat melalui motto mereka, "keuntungan
industri adalah dengan memperluas penampungan bagi pekerja trampil". Semua
kebijakan ini muncul sebagai akibat munculnya kesadaran sekaligus tekanan
dari pembuat peraturan pemerintah, masyarakat, serta perkembangan pemikiran
yang menekankan pada keadilan kesempatan. Selain itu, komitmen individu dari
pemimpin perusahaan memainkan peranan yang penting dalam membentuk agenda
tersebut.

DISKRIMINASI: SIFAT DAN SKALA MASALAH

Di Inggris ada tiga kelompok yang menghadapi persoalan serius dalam
merealisasi potensinya, yaitu wanita, etnis minoritas, dan orang-orang
cacat. Pembagian ini tidak mengurangi kesulitan yang di hadapi masyarakat.

Wanita - wanita adalah sebagian terbesar dari kelompok yang menghadapi
masalah diskriminasi. Padahal kontribusi wanita terhadap industri dunia
terus meningkat. Persoalan yang dihadapi wanita adalah mereka bekerja
berlebihan dalam lingkup sempit sektor industri dan hanya bisa meraih
kelompok jabatan tertentu saja. Kehidupan pekerjaan mereka berbeda secara
mendasar dibanding rekan pria. Wanita lebih sulit mendapatkan pekerjaan
setelah berhenti bekerja. Kesempatan mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih
buruk lebih besar daripada pria berusia separoh baya. Keselamatan kerjanya
kurang. Rata-rata tingkat upah yang diterimanya hanya 70% dari rata-rata
tingkat upah pria dengan pekerjaan yang sama. Wanita berada di pasar tenaga
kerja kelas dua. Ini ditandai dengann upah yang rendah, jabatan yang tidak
aman, dan kondisi kerja yang jelek. Demikian laporan dari Carter, S. dan
Cannon, T, dalam "Women as Entrepreneurs" , tahun 1991. Dan pola semacam ini
secara umum dapat ditemukan di seluruh Eropa. Pendidikan tidak mengurangi
perbedaan ini. Wanita yang berpendidikan lebih tinggi tetap saja lebih buruk
ketimbang pria yang kurang pendidikan. Tingkat pengangguran di kalangan
wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal lebih banyak dua atau tiga
kali lipat daripada pria yang juga berperan sebagai orangtua tungal. Pola
ini tidak berubah selama beberapa waktu terakhir. Mereka tetap bekerja
dengan bayaran rendah dan ditempatkan pada posisi yang tidak terampil atau
semi terampil.

Etnis Minoritas - Kesulitan yang dihadapi etnis minoritas lebih dipersulit
dengan adanya variasi lokal dan regional serta perbedaan antar etnis.
Terkonsentrasinya masyarakat minoritas di bagian tertentu dalam suatu kota
dan dengan ketrampilan mereka yang rendah, membuat mereka rentan terhadap
perubahan ekonomi. Kesempatan mendapat pendidikan, pelatihan, dan
pengembangan juga terbatas. Rata-rata pendidikan mereka rendah. Peran serta
dalam program pelatihan di dalam dan di luar sangat buruk. Ada beberapa
bukti yang menunjukkan bahwa para bos kurang suka mengirim anggota
masyarakat minoritas ke kursus pelatihan di luar; mereka lebih suka mengirim
anggota masyarakat mayoritas. Tingatk mendapat pendidikan tinggi juga rendah
dan lebih sedikit lagi yang mengambil program MBA, atau program lain yang
setara. Jumlah anggota yang menduduki jabatan manajemen senior atau menengah
juga suram.

Orang-orang Cacat - Informasi peluang pengembangan karier penyandang cacat
sangat buruk. Selain itu, penyandang cacat juga menunjukkan mendapat
hambatan berupa buruknya prospek pekerjaan, kurangnya pelatihan, dan
seriusnya masalah akses serta dukungan. Di beberapa negara, sudah diakui
bahwa penyandang cacat bukanlah orang yang tidak beruntung. Namun,
kenyataannya masih saja upah yang mereka terima rendah dan pengangguran yang
tinggi. Banyak tempat kerja yang tidak mempunyai fasilitas yang cukup,
seperti jalur yang melandai.

TANTANGAN

Perusahaan kini dituntut untuk memperluas peluang tanpa memperhitungkan ras,
agama, warna kulit, jenis kelamin, usia, kebangsaan, cacat, atau
ketertarikan sosial. Dan ini menjadi tanggung jawab perusahaan. Kewaspadaan
adalag kata kunci yang penting. Banyak manajer atau staff bagian rekruitmen
yang tidak menyadari pola diskriminasi yang timbul dalam kegiatan mereka
sehari-hari. Perlu membersihkan diri dari prasangka terhadap gagasan
keadilan dan persamaan. Bagaimana pun bagi perusahaan ini berguna agar
mereka tidak kehilangan bakat dan kemampuan yang luar biasa.

(disadur dari Tom Cannon, Coporate Responsibility)

Sirkus WAG's Nihil

Kata rezim pas untuk menggambarkan Fabio Capello. Namun, karena tangan besinya, sang pelatih dinilai tinggi Rio Ferdinand. Deputi kapten John Terry ini menilai masa depan Inggris lebih jelas dibandingkan Sven Goran Eriksson dengan sirkus WAG’s (wives and girlfirends) yang membuntuti.

Dipercaya menjadi kapten timnas Inggris saat tandang ke Belarusia pertengahan pekan ini, Ferdinand menggunakan momen tersebut untuk membandingkan Capello dengan pendahulunya, terutama Eriksson.

“Sejujurnya kami menjadi agak mirip sirkus sehubungan dengan semua situasi WAG's itu. Sepertinya ada sebuah pertunjukan besar atau tontonan teater terbuka di sekitar skuad Inggris,” ucap pemain berusia 29 tahun ini di ESPN.

Sang bek tengah mengaku heran karena sepakbola hampir menjadi elemen kedua ketika itu, bahkan terus terjadi di kejuaraan besar. “Orang lebih peduli pada apa yang mereka kenakan dan ke mana mereka pergi daripada tim Inggris. Hal ini menular ke dalam tim,” sebutnya.

Eriksson memang masih mampu membawa The Three Lions ke perempatfinal Jerman 2006. Pengaruh selubung selebritas menuai bencana di era Steve McClaren ketika gagal lolos ke putaran final Euro 2008.

Di tangan Capello, WAG’s diabaikan. Mereka tak lagi mendominasi perhatian para pendukung dan pemain dari hal yang semestinya, football.

Arah Tepat

“Rezim sekarang sangat ketat. Namun, rasanya kami sedang berada di arah yang tepat. Saya tidak ingin terlalu cepat menilai, tapi bisa dilihat kami sedang memulai sesuatu. Semoga ada hasil yang lebih besar daripada di masa lalu,” lanjut Ferdinand.

Kepemimpinan Don Fabio juga disebut bek didikan West Ham ini sangat profesional. “Orientasi pada hasil sangat besar, sangat mirip dengan di klub-klub kami.”

Hasilnya sementara bisa dilihat. Tak melulu cantik, Tim Tiga Singa hingga laga akhir pekan lalu mencatat rekor 100 persen di kualifikasi Piala Dunia 2010. Eks bos Milan, Madrid, dan Roma ini pun tak segan mencadangkan pemain Inggris yang tampil tak maksimal. Jadi, peminggiran istri dan pacar pemain tampak wajar. (chrs)

Determination

You also have, deep inside, a "never-say-die attitude".

In 1883, a creative engineer named John Roebling was inspired by an idea to build a spectacular bridge connecting New York with the Long Island. However bridge building experts throughout the world thought that this was an impossible feat and told Roebling to forget the idea. It just could not be done. It was not practical. It had never been done before.

Roebling could not ignore the vision he had in his mind of this bridge. He thought about it all the time and he knew deep in his heart that it could be done. He just had to share the dream with someone else. After much discussion and persuasion he managed to convince his son Washington, an up and coming engineer, that the bridge in fact could be built.

Working together for the first time, the father and son developed concepts of how it could be accomplished and how the obstacles could be overcome. With great excitement and inspiration, and the headiness of a wild challenge before them, they hired their crew and began to build their dream bridge.

The project started well, but when it was only a few months underway a tragic accident on the site took the life of John Roebling. Washington was injured and left with a certain amount of brain damage, which resulted in him not being able to walk or talk or even move.

"We told them so."

"Crazy men and their crazy dreams."

"It`s foolish to chase wild visions."

Everyone had a negative comment to make and felt that the project should be scrapped since the Roeblings were the only ones who knew how the bridge could be built. In spite of his handicap, Washington was never discouraged and still had a burning desire to complete the bridge and his mind was still as sharp as ever.

He tried to inspire and pass on his enthusiasm to some of his friends, but they were too daunted by the task. As he lay on his bed in his hospital room, with the sunlight streaming through the windows, a gentle breeze blew the flimsy white curtains apart and he was able to see the sky and the tops of the trees outside for just a moment.

It seemed that there was a message for him not to give up. Suddenly an idea hit him. All he could do was move one finger and he decided to make the best use of it. By moving this, he slowly developed a code of communication with his wife.

He touched his wife's arm with that finger, indicating to her that he wanted her to call the engineers again. Then he used the same method of tapping her arm to tell the engineers what to do. It seemed foolish but the project was under way again.

For 13 years Washington tapped out his instructions with his finger on his wife's arm, until the bridge was finally completed. Today the spectacular Brooklyn Bridge stands in all its glory as a tribute to the triumph of one man's indomitable spirit and his determination not to be defeated by circumstances. It is also a tribute to the engineers and their team work, and to their faith in a man who was considered mad by half the world. It stands too as a tangible monument to the love and devotion of his wife who for 13 long years patiently decoded the messages of her husband and told the engineers what to do.

Perhaps this is one of the best examples of a never-say-die attitude that overcomes a terrible physical handicap and achieves an impossible goal.

Tidak ada komentar: