Kamis, 23 Oktober 2008

Stress Kerja



Jacinta F. Rini, MSi.

Perkembangan ekonomi yang cepat, perampingan perusahaan, PHK, merger dan bangkrutnya beberapa perusahaan sebagai akibat dari krisis yang berkepanjangan telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi ribuan bahkan jutaan tenaga kerja. Mereka harus rela dipindahkan kebagian yang sangat tidak mereka kuasai dan tidak tahu berapa lama lagi mereka akan dapat bertahan atau dipekerjakan. Selain itu mereka harus menghadapi boss baru, pengawasan yang ketat, tunjangan kesejahteraan berkurang dari sebelumnya, dan harus bekerja lebih lama dan lebih giat demi mempertahankan status sosial ekonomi keluarga. Para pekerja di setiap level mengalami tekanan dan ketidakpastian. Situasi inilah yang seringkali memicu terjadinya stress kerja.

Hasil Penelitian

Menurut penelitian Baker dkk (1987), stress yang dialami oleh seseorang akan merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Para peneliti ini juga menyimpulkan bahwa stress akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting desease cells. Akibatnya, orang tersebut cenderung sering dan mudah terserang penyakit yang cenderung lama masa penyembuhannya karena tubuh tidak banyak memproduksi sel-sel kekebalan tubuh, ataupun sel-sel antibodi banyak yang kalah.

Dua orang peneliti yaitu Plaut dan Friedman (1981) berhasil menemukan hubungan antara stress dengan kesehatan. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa stress sangat berpotensi mempertinggi peluang seseorang untuk terinfeksi penyakit, terkena alergi serta menurunkan sistem autoimmune-nya. Selain itu ditemukan pula bukti penurunan respon antibodi tubuh di saat mood seseorang sedang negatif, dan akan meningkat naik pada saat mood seseorang sedang positif.

Peneliti yang lain yaitu Dantzer dan Kelley (1989) berpendapat tentang stress dihubungkan dengan daya tahan tubuh. Katanya, pengaruh stress terhadap daya tahan tubuh ditentukan pula oleh jenis, lamanya, dan frekuensi stress yang dialami seseorang. Peneliti lain juga mengungkapkan, jika stress yang dialami seseorang itu sudah berjalan sangat lama, akan membuat letih health promoting response dan akhirnya melemahkan penyediaan hormon adrenalin dan daya tahan tubuh.

Banyak sudah penelitian yang menemukan adanya kaitan sebab-akibat antara stress dengan penyakit, seperti jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan beberapa penyakit lainnya. Oleh karenanya, perlu kesadaran penuh setiap orang untuk mempertahankan tidak hanya kesehatan dan keseimbangan fisik saja, tetapi juga psikisnya.

Apakah Stress Kerja?

Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka dikatakan bahwa individu itu mengalami stress kerja. Namun apakah sebenarnya yang dikategorikan sebagai stress kerja? Menurut Phillip L. Rice, Penulis buku Stress and Health, seseorang dapat dikategorikan mengalami stress kerja jika :

* Urusan stress yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat juga menjadi penyebab stress kerja
* Mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu
* Oleh karenanya diperlukan kerja sama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan stress tersebut.

Gejala

Menurut Terry Beehr dan John Newman (1978) gejala stress kerja dapat di bagi dalam 3 (tiga) aspek, yaitu gejala psikologis, gejala psikis dan perilaku.


Kecemasan, ketegangan Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah Menunda ataupun menghindari pekerjaan/tugas
Bingung, marah, sensitif Meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin Penurunan prestasi dan produktivitas
Memendam perasaan Gangguan gastrointestinal, misalnya gangguan lambung Meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk
Komunikasi tidak efektif Mudah terluka Perilaku sabot
Mengurung diri Mudah lelah secara fisik Meningkatnya frekuensi absensi
Depresi Kematian Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan)
Merasa terasing dan mengasingkan diri Gangguan kardiovaskuler Kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan
Kebosanan Gangguan pernafasan Meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi, seperti ngebut, berjudi
Ketidakpuasan kerja Lebih sering berkeringat Meningkatnya agresivitas, dan kriminalitas
Lelah mental Gangguan pada kulit Penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
Menurunnya fungsi intelektual Kepala pusing, migrain Kecenderungan bunuh diri
Kehilangan daya konsentrasi Kanker
Kehilangan spontanitas dan kreativitas Ketegangan otot
Kehilangan semangat hidup Probem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur)
Menurunnya harga diri dan rasa percaya diri

Dampak Terhadap Perusahaan

Sebuah organisasi atau perusahaan dapat dianalogikan sebagai tubuh manusia. Jika salah satu dari anggota tubuh itu terganggu, maka akan menghambat keseluruhan gerak, menyebabkan seluruh tubuh merasa sakit dan menyebabkan individunya tidak dapat berfungsi secara normal. Demikian pula jika banyak di antara karyawan di dalam organisasi mengalami stress kerja, maka produktivitas dan kesehatan organisasi itu akan terganggu. Jika stress yang dialami oleh organisasi atau perusahaan tidak kunjung selesai, maka sangat berpotensi mengundang penyakit yang lebih serius. Bukan hanya individu yang bisa mengalami penyakit, organisasi pun dapat memiliki apa yang dinamakan Penyakit Organisasi.

Randall Schuller (1980), mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi. Menurut peneliti ini, stress yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, serta tendensi mengalami kecelakaan.

Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stress kerja dapat berupa:


* Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja
* Mengganggu kenormalan aktivitas kerja
* Menurunkan tingkat produktivitas
* Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. Kerugian finansial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya. Banyak karyawan yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya entah karena kelambanan atau pun karena banyaknya kesalahan yang berulang.

Dampak Terhadap Individu

Dampak stress kerja bagi individu adalah munculnya masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologis dan interaksi interpersonal

Kesehatan

Tubuh manusia pada dasarnya dilengkapi dengan sistem kekebalan untuk mencegah serangan penyakit. Istilah "kebal" ini dikemukakan oleh dua orang peneliti yaitu Memmler dan Wood untuk menggambarkan kekuatan yang ada pada tubuh manusia dalam mencegah dan mengatasi pengaruh penyakit tertentu, dengan cara memproduksi antibodi.

Sistem kekebalan tubuh manusia ini bekerja sama secara integral dengan sistem fisiologis lain, dan kesemuanya berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh, baik fisik maupun psikis yang cara kerjanya di atur oleh otak. Seluruh sistem tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor psikososial seperti stress dan immunocompetence. Istilah immunocompetence ini biasanya digunakan di bidang kedokteran untuk menjelaskan derajat keaktifan dan keefektifan dari sistem kekebalan tubuh.

Jadi, tidak heran jika orang yang mudah stress, mudah pula terserang penyakit. Cobalah Anda mulai memperhatikan diri Anda sendiri, dan tanyakan apakah Anda termasuk di antara orang yang sedang mengalami stress kerja? Dan apakah penyakit yang sering Anda alami merupakan akibat atau pengaruh stress kerja yang berkepanjangan ?

Psikologis

Stress berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang terus-menerus. Menurut istilah psikologi, stress berkepanjangan ini disebut stress kronis. Stress kronis sifatnya menggerogoti dan menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara perlahan-lahan. Stress kronis umumnya terjadi di seputar masalah kemiskinan, kekacauan keluarga, terjebak dalam perkawinan yang tidak bahagia, atau masalah ketidakpuasan kerja. Akibatnya, orang akan terus-menerus merasa tertekan dan kehilangan harapan.

Menurut Miller (1997), seorang peneliti asal Amerika, akar dari stress kronis ini adalah dari pengalaman traumatis di masa lalu yang terinternalisasi, tersimpan terus dalam alam bawah sadar. Hal ini jadi berbahaya karena orang jadi terbiasa "membawa" stress ini kemana saja, dimana saja dan dalam situasi apapun juga; stress kronis ini dianggap sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehingga tidak ada upaya untuk mencari jalan keluarnya lagi. Singkatnya, orang yang menderita stress kronis ini sudah hopeless and helpless. Tidak heran jika para penderita stress kronis akhirnya mengambil keputusan untuk bunuh diri, atau meninggal karena serangan jantung, stroke, kanker, atau tekanan darah tinggi. Jadi, amatilah diri Anda, apakah Anda termasuk orang yang suka membiarkan masalah tanpa dicari jalan keluar yang positif ? Berhati-hatilah akan konsekuensi yang bakal Anda hadapi !

Interaksi Interpersonal

Orang yang sedang stress akan lebih sensitif dibandingkan orang yang tidak dalam kondisi stress. Oleh karena itulah, sering terjadi salah persepsi dalam membaca dan mengartikan suatu keadaan, pendapat atau penilaian, kritik, nasihat, bahkan perilaku orang lain. Obyek yang sama bisa diartikan dan dinilai secara berbeda oleh orang yang sedang stress.

Selain itu, orang stress cenderung mengkaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Pada tingkat stress yang berat, orang bisa menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya, ia lebih banyak menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan, jarang berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah marah, mudah emosi. Tidak heran kalau akibat dari sikapnya ini mereka dijauhkan oleh rekan-rekannya. Respon negatif dari lingkungan ini malah semakin menambah stress yang diderita karena persepsi yang selama ini ia bayangkan ternyata benar, yaitu bahwa ia kurang berharga di mata orang lain, kurang berguna, kurang disukai, kurang beruntung, dan kurang-kurang yang lainnya.

Sebuah penelitian terhadap sekelompok karyawan yang bekerja di suatu organisasi menunjukkan, bahwa stress kerja menyebabkan terjadinya ketegangan dan konflik antara pihak karyawan dengan pihak manajemen. Tingginya sensitivitas emosi berpotensi menyulut pertikaian dan menghambat kerja sama antara individu satu dengan yang lain.

Sumber Stress


Untuk memahami sumber stress kerja, kita harus melihat stress kerja ini sebagai interaksi dari beberapa faktor, yaitu stress di pekerjaan itu sendiri sebagai faktor eksternal, dan faktor internal seperti karakter dan persepsi dari karyawan itu sendiri. Dengan kata lain, stress kerja tidak semata-mata disebabkan masalah internal, sebab reaksi terhadap stimulus akan sangat tergantung pada reaksi subyektif individu masing-masing. Beberapa sumber stress yang menurut Cary Cooper (1983) dianggap sebagai sumber stress kerja adalah stress karena kondisi pekerjaan, masalah peran, hubungan interpersonal, kesempatan pengembangan karir, dan struktur organisasi.


Kondisi Pekerjaan


* Lingkungan Kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stress, sulit berkonsentrasi dan menurunnya produktivitas kerja. Bayangkan saja, jika ruangan kerja tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruangan kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang bersih, berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja karyawan.
* Overload. Sebenarnya overload ini dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam "tegangan tinggi". Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.
* Deprivational stress. George Everly dan Daniel Girdano (1980), dua orang ahli dari Amerika memperkenalkan istilah deprivational stress untuk menjelaskan kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).
* Pekerjaan Berisiko Tinggi. Ada jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau berbahaya bagi keselamatan, seperti pekerjaan di pertambangan minyak lepas pantai, tentara, pemadam kebakaran, pekerja tambang, bahkan pekerja cleaning service yang biasa menggunakan gondola untuk membersihkan gedung-gedung bertingkat. Pekerjaan-pekerjaan ini sangat berpotensi menimbulkan stress kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.


Konflik Peran

Ada sebuah penelitian menarik tentang stress kerja menemukan bahwa sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, atau yang kurang memiliki struktur yang jelas, mengalami stress karena konflik peran. Mereka stress karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen (Rice, 1992). Kenyataan seperti ini mungkin banyak dialami pekerja di Indonesia, dimana perusahaan atau organisasi tidak punya garis-garis haluan yang jelas, aturan main, visi dan misi yang seringkali tidak dikomunikasikan pada seluruh karyawannya. Akibatnya, sering muncul rasa ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

Para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stress lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stress.

Pengembangan Karir

Setiap orang pasti punya harapan-harapan ketika mulai bekerja di suatu perusahaan atau organisasi. Bayangan akan kesuksesan karir, menjadi fokus perhatian dan penantian dari hari ke hari. Namun pada kenyataannya, impian dan cita-cita mereka untuk mencapai prestasi dan karir yang baik seringkali tidak terlaksana. Alasannya bisa bermacam-macam seperti ketidakjelasan sistem pengembangan karir dan penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen perusahaan, atau karena sudah “mentok” alias tidak ada kesempatan lagi untuk naik jabatan.

Struktur Organisasi

Gambaran perusahaan Asia dewasa ini masih diwarnai oleh kurangnya struktur organisasi yang jelas. Salah satu sebabnya karena perusahaan di Asia termasuk Indonesia, masih banyak yang berbentuk family business. Kebanyakan (family) business dan bisnis-bisnis lain di Indonesia yang masih sangat konvensional dan penuh dengan budaya nepotisme, minim akan kejelasan struktur yang menjelaskan jabatan, peran, wewenang dan tanggung jawab. Tidak hanya itu, aturan main yang terlalu kaku atau malah tidak jelas, iklim politik perusahaan yang tidak sehat serta minimnya keterlibatan atasan membuat karyawan jadi stress karena merasa seperti anak ayam kehilangan induk - segala sesuatu menjadi tidak jelas.

Mengatasi Stress Kerja

Stress kerja sekecil apapun juga harus ditangani dengan segera. Seorang ahli terkenal di bidang kesehatan jiwa, Jere Yates (1979,) mengemukakan ada delapan (8) aturan main yang harus diikuti dalam mengatasi stress yaitu:


* Pertahankan kesehatan tubuh Anda sebaik mungkin, usahakan berbagai cara agar anda tidak jatuh sakit
* Terimalah diri Anda apa adanya, segala kekurangan dan kelebihan, kegagalan maupun keberhasilan sebagai bagian dari kehidupan Anda
* Tetaplah memelihara hubungan persahabatan yang indah dengan seseorang yang Anda anggap paling bisa diajak curhat
* Lakukan tindakan positif dan konstruktif dalam mengatasi sumber stress Anda di dalam pekerjaan, misalnya segera mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam pekerjaan
* Tetaplah memelihara hubungan sosial dengan orang-orang di luar lingkungan pekerjaan Anda, misalnya dengan tetangga atau kerabat dekat
* Berusahalah mempertahankan aktivitas yang kreatif di luar pekerjaan, misalnya berolahraga atau berekreasi
* Melibatkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang berguna, misalnya kegiatan sosial dan keagamaan
* Gunakanlah metode analisa yang cukup ilmiah dan rasional dalam melihat atau menganalisa masalah stress kerja Anda. (jp)

Real Madrid di Liga Champion 2008/09
Menebus Blunder Los Galacticos

Real Madrid adalah raja Eropa. Tak ada yang bisa membantah itu. Tapi, setelah terakhir menjuarai Liga Champion 2001/02, El Real berubah menjadi bahan lelucon di Eropa.

Sampai saat ini, Los Blancos sudah mengoleksi sembilan gelar juara Piala/Liga Champion. Lima gelar yang pertama diraih beruntun antara tahun 1956-1960. Setelah itu Los Merengues juara pada 1966, 1998, 2000, dan 2002.

Sekarang Madrid mencari gelar ke-10 yang ternyata sangat sulit didapat. Madrid telah mencoba sejak musim 2002/03, tetapi selalu gagal. Pencapaian Los Merengues malah memburuk. Sejak Liga Champion musim 2004/05 Si Putih tidak pernah mampu melangkah lebih jauh dari babak perdelapanfinal.

Ada apa dengan Madrid? Dalam majalah Champions edisi Oktober-November 2008, penjaga gawang Madrid, Iker Casillas, menyatakan tahun ini klubnya punya peluang bagus untuk kembali menjadi kampiun Liga Champion.

“Saya percaya kali ini –dengan grup pemain yang lebih solid dan mengerti tanggung jawab masing-masing– kami bisa menjadi juara lagi."

Dari pernyataan ini tampak jelas bahwa permasalahan Madrid adalah kelompok pemain yang tidak solid. El Real menjadi bahan tertawaan karena dengan materi terbaik di Eropa, mereka malah hancur di Liga Champion.

Kebiasaan Presiden Florentino Perez mendatangkan bintang-bintang top (Madrid sampai mendapatkan julukan Los Galacticos) justru merusak tim. Ronaldo, David Beckham, Walter Samuel, Michael Owen, sampai Robinho memunculkan perang ego di tubuh Madrid.

Dengan kondisi tim seperti itu, Perez malah memecat Vicente Del Bosque, pelatih yang membawa Madrid menjuarai Liga Champion 2000 dan 2002. Ini orang yang bisa menyatukan ego para bintang.

Perubahan Calderon

Terbukti, para penerus Del Bosque tak ada yang berhasil mengembalikan harmoni ke tubuh Madrid. Carlos Queiroz, Jose Antonio Camacho, Mariano Garcia Remon, Wanderley Luxemburgo, dan Juan Ramon Lopez Caro bergantian mencoba peruntungan. Mereka gagal.

Setelah Ramon Calderon menggantikan Perez sebagai presiden klub, mulai ada perubahan. Calderon membawa pelatih Fabio Capello untuk mengembalikan kedisiplinan ke ruang ganti El Real. Capello memberikan gelar juara La Liga 2006/07, tapi Los Merengues masih buntu di Liga Champion.

Sejak 2007/08, Madrid dilatih Bernd Schuster. Ia membawa hal baru dalam pendekatan permainan serta didukung politik transfer yang tidak asal seperti di era Los Galacticos. Hasilnya, skuad Madrid sekarang lebih terkontrol dari segi kuantitas, kualitas, dan mentalitas.

“Di tingkat nasional, kami sudah kembali ke level terbaik. Kini kami ingin melakukan yang sama di tingkat internasional,” ujar Casillas. Melihat sepak terjang Madrid sejauh ini, apa yang dikatakan Casillas rasanya bisa diterima. (Dwi Widijatmiko)

Tidak ada komentar: