Minggu, 19 Oktober 2008

Paradigma Career Security



Oleh Ubaydillah, AN dari Team E-Psikologi

Dari penggunaan yang lazim istilah paradigma sering diartikan sebagai pola / model tertentu yang kita anut. Paradigma berpikir tertentu akan mempengaruhi sikap, tindakan dan kebiasaann tertentu. Paradigma dengan kata lain sering tidak disadari menjadi 'hukum' dan kita semua adalah anak dari hukum itu. Oleh sebab itu logislah kalau dikatakan, salah satu syarat untuk maju adalah mengganti (baca: menyempurnakan) paradigma lama dengan
paradigma baru yang lebih unggul.

Dalam hal pekerjaan / karir, sedikitnya ada dua paradigma yang berkembang yaitu job security dan career security. Job security merujuk pada keamanan atas pekerjaan yang dimiliki atau diberikan oleh pihak perusahaan (external), sementara career security merujuk pada keamanan atas bidang karir atau pekerjaan yang dipilih oleh diri sendiri (internal). Dalam paradigma job security maka kesalahan terbesar adalah munculnya keyakinan bahwa kita bekerja untuk orang lain. Tentu saja pandangan seperti ini sudah kadaluwarsa sebab pijakan perkembangan karir haruslah diciptakan dari diri individu. Pekerjaan memang bisa saja milik perusahaan tetapi karir adalah milik anda". Pola berpikir yang mengedepankan job security seringkali justru menjadi "pembunuh" bagi sumberdaya
terbesar yang anda miliki.

Adakah yang salah dari paradigma job security itu sampai dijuluki sebagai "pembunuh" sumberdaya individu? Kalau dikatakan salah, haruskah semua orang meninggalkan kantor untuk mendirikan perusahaan sendiri, menjadi business owner, self-employment atau investor seperti yang digambarkan dalam 'paradigm shift' ala Robert Kiyosaki dalam "Cash flow Quadrant" ? Jawabannya tentu tidak mutlak harus demikian.

Posisi dan Misi

Perbedaan arti job security dan career security akan membentuk pemahaman irrational yang mandul kalau diartikan secara posisi tetapi akan 'klop' kalau diartikan secara misi. Artinya, untuk memahami career security maka anda harus melepaskan diri dari apa pun posisi anda (karyawan, professional, pemilik usaha) dan hanya berpegang pada misi bahwa diri andalah yang menjadi sumber segalanya bagi kelangsungan karir anda. Dengan
kata lain, career security adalah ajaran mentalitas berupa The enterprising mental attitude - mentalitas pengusaha. Lagi - lagi kita terjebak dalam arti posisi dengan kalimat pengusaha karena istilah ini sudah dikramatkan sedemikian rupa selama bertahun-tahun sehingga membuat kebanyakan orang takut untuk menyebut dirinya pengusaha, padahal suka atau tidak suka, semua orang adalah pengusaha, pejuang gagasannya. Inilah inti dari paradigma career security.

Agar tidak terlalu banyak menghadapi jebakan idiom, maka perubahan paradigma dari job security ke career security harus diatur dengan tata letak (realisasi misi) yang tidak saling berlawanan. Hal itu mengingat bahwa setiap paradigma mengandung nilai plus-minus. Tugas kita adalah mengambil plus dari paradigma lama untuk dijadikan lebih plus dengan paradigma baru. Paradigma job security yang telah menyelimuti kultur kita mewariskan
kepercayaan bahwa modal untuk membeli keamanan atas pekerjaan adalah loyalitas dan kerja keras. Pada batas yang terlalu jauh, mentalitas demikian akan 'membutakan' penglihatan terhadap adanya 'gold mine' di dalam diri yang menunggu sentuhan 'gold mind'.
Hal lain yang perlu diingat lagi adalah bahwa paradigma merupakan materi ajaran mentalitas yang dimaksudkan untuk mengubah konstruksi pola pikir dan tidak perlu mengubah bentuk tatanan fisik kalau memang secara riil belum mampu dan tidak diperlukan.

Paradigma career security mengajarkan perubahan mindset (pola pikir) dari bekerja dengan cemeti perintah menuju ke bekerja atas keinginan untuk memperbaiki diri atau dorongan berprestasi di tempat kerja. Cemeti perintah akan menciptakan karakter 'asking for' dalam arti 'low bargain' yang membuat banyak orang melihat tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan sebagai beban hidup. Sementara career security akan menciptakan karakter mental sebagai 'giver'. Tangan "giving" bagaimana pun akan lebih mulia di banding tangan "asking".

Hal terakhir yang harus diingat juga adalah bahwa perubahan paradigma sebenarnya merupakan jembatan peradaban dari level rendah ke level yang lebih tinggi. Kalau orang sudah berpegang pada paradigma lebih positif maka kemungkinan besar dapat dikatakan bahwa ia punya potensi lebih besar untuk menciptakan perilaku yang lebih positif dalam merespon keadaan. Sebab keadaan yang sebenarnya terjadi, meskipun kita menganut
paradigma job security, tetapi toh kita bisa mudah kehilangan pekerjaan karena keputusan orang lain, kebijakan lembaga, atau bahkan perubahan negara lain. Kalau dikaji untung-ruginya, career security lebih mendorong pada upaya menciptakan persiapan di dalam untuk menghadapi perubahan keadaan di luar sementara job security tidak mendorong demikian atau lebih cenderung pasrah. Artinya perubahan paradigma dari job security ke career security melambangkan tangga peradaban yang lebih atas / lebih untung.
Dengan sedikit pertimbangan di atas, rasanya tidak ada ruginya atau bahkan tidak mengandung resiko ancaman keamanan apapun kalau kita sudah bisa menyambut baik ajakan untuk mengganti paradigma kerja dari job security ke career security. Alasan rational dan faktual yang dapat kita jadikan pijakan untuk mengganti paradigma itu adalah kenyataan bahwa pekerjaan tidak lagi menyisakan ruang 'comfort zone' atau paling tidak
ukurannya makin sempit . Penyempitan itu bisa disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari persaingan, peristiwa eksternal, dan perubahan kebijakan. Persaingan yang oleh para ahli diistilahkan sudah mencapai tingkat hyper menuntut kualitas pengecualian. Kualitas rata-rata sudah semakin jauh dari perhitungan. Kalau ada perusahaan membutuhkan - misalnya saja - tenaga accounting dengan kualifikasi S1, tentu semua orang mengatakan mudah. Tetapi kalau ditambah kualifikasinya harus bisa bahasa Inggris, sudah berkurang yang berani mengatakan mudah. Apalagi kalau ditambah dengan pengusaan job skill yang memang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan riil di lapangan, misalnya saja harus menguasai program MYOB, peraturan perpajakan, Brevet A / B, maka dipastikan tidak semua orang mengatakan mudah. Lebih-lebih kalau ditambah embel-embel harus berpenampilan 'menarik'.

Ketrampilan

Paradigma career security bertumpu pada kekuatan ketrampilan, yaitu mengeluarkan semua sumberdaya internal, keunggulan, dan bakat di tempat kerja agar bisa lebih mendatangkan manfaat dan prestasi bagi diri kita dan bagi orang lain. Ketrampilan diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan tepat dan mahir
(Skill is the ability to do something expertly). Arah pengembangan ketrampilan bisa mengacu pada formula yang sudah lazim dengan sedikit penyempurnaan. Di antara formula yang dapat disebutkan di sini adalah:

1. Ketrampilan dan Sikap
Ketrampilan kerja (job skill) dipahami sebagai kemampuan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Kalau dielaborasi keterkaitannnya dengan aneka ragam 'human capital' maka job skill lebih banyak diperankan oleh IQ (Intellectual Quotient). Mental skill mengacu pada pengertian leadership skill yaitu kemampuan menyelesaikan urusan benda hidup atau sering disebut software skill seperti misalnya menangani persoalan hubungan dengan manusia. Mental skill lebih banyak diperankan oleh EQ (Emotional Quotient).

Dengan paradigma kerja baru maka fokus pengembangan tidak lagi perlu diarahkan pada wilayah dikhotomistik tetapi merebut keduanya dengan menempuh cara belajar melewati garis pembatas definitif itu. Tidak lagi menggunakan jarum jam tetapi sudah saatnya menggunakan kompas. Tidak lagi menganut paradigma mesin tetapi manusia yang benar-benar manusia dengan segala kemampuan untuk memilih yang lebih baik dan tidak lagi
berbicara mana yang lebih penting antara job skill dan mental skill.

2. Pikiran dan Tindakan
Rasanya sudah tidak asing kalau kita sering membuat definisi tentang kemampuan orang di mana ada orang yang cuma bisa mengerjakan tetapi tidak bisa membuat konsep. Paradigma lama itu tak terasa menjebak kita ke dalam pembatas kemampuan yang menyempitkan. Lebih-lebih kalau sudah disikapi secara perang. Si A hanya fasih
dengan konsepnya, 'omong-doang' dan sebaliknya si B hanya bisa bekerja tetapi tidak bisa berpikir kritis.. Paradima kerja baru membutuhkan pengalihan focus untuk memperluas batas definitif kemampuan yang tidak lagi hanya bisa mengerjakan atau hanya berpikir melainkan mengasah keduanya. "Jika Morita menciptakan kerajaan Sony tanpa menggunakan jasa konsultan atau Sam Walton yang tak bergelar MBA sukses membangun Wal Mart, maka jawabnya: mereka bukan sekedar people of action tetapi sekaligus people of thought - pemikir yang kritis.

3. Belajar
Keahlian ini bertumpu pada keahlian unutk "belajar bagaimana belajar yang sesungguhnya" , bukan sekedar 'kesediaan diajar'. Sama sekali bukan sebuah sikap untuk menafikan makna 'kesediaan diajar' yang telah membuat kita menjadi tahu akan tetapi ketika sudah berbicara kunci utama pengembangan manusia (individu / organisasi) maka kunci itu adalah menjadi 'learner'. Dengan menjadi learner, gap yang diciptakan oleh pemahaman dikhotomistik dari sekian acuan pengembangan skill dapat dijembatani. Bahkan sebetulnya fakta alamiyah telah lebih dulu menjelaskan bahwa semua 'gained quality' tidak bisa dilepaskan dari unsur learning di dalamnya termasuk bagaimana cara berjalan kaki bagi bayi.

Supaya bisa menjadi learner lagi seperti bayi, maka syarat yang harus dipenuhi adalah kesediaan menjadi 'beginner' yang selalu dapat melihat materi/objek dengan lensa baru (creative) dan tanda tanya (curiosity). "You can learn new things at any time in your life if you're willing to be a beginner. If you actually learn to like being a beginner, the whole world opens up to you." Kata Barbara Sher. Ada kalanya 'block mental' terjadi bukan karena
kita tidak tahu tetapi justru karena kita sudah tahu. (jp)

Biggest Weakness Can Become Strength
Sometimes your biggest weakness can become your biggest strength.

Take, for example, the story of one 10-year-old boy who decided to study judo despite the fact that he had lost his left arm in a devastating car accident.

The boy began lessons with an old Japanese judo master. The boy was doing well, so he couldn't understand why, after three months of training the master had taught him only one move.

"Sensei," the boy finally said, "Shouldn't I be learning more moves?"
"This is the only move you know, but this is the only move you'll ever need to know," the Sensei replied.

Not quite understanding, but believing in his teacher, the boy kept training.
Several months later, the sensei took the boy to his first tournament. Surprising himself, the boy easily won his first two matches. The third match proved to be more difficult, but after some time, his opponent became impatient and charged; the boy deftly used his one move to win the match.
Still amazed by his success, the boy was now in the finals.

This time, his opponent was bigger, stronger, and more experienced. For a while, the boy appeared to be overmatched. Concerned that the boy might get hurt, the referee called a time-out. He was about to stop the match when the Sensei intervened.

"No," the Sensei insisted, "Let him continue."

Soon after the match resumed, his opponent made a critical mistake: He dropped his guard. Instantly, the boy used his move to pin him. The boy had won the match and the tournament. He was the champion.

On the way home, the boy and Sensei reviewed every move in each and every match. Then the boy summoned the courage to ask what was really on his mind.

"Sensei, how did I win the tournament with only one move?"

"You won for two reasons," the Sensei answered. "First, you've almost mastered one of the most difficult throws in all of judo. And second, the only known defense for that move is for your opponent to grab your left arm."

The boy's biggest weakness had become his biggest strength.

Andrea Dossena
Italiano Pembenci Catenaccio

Italia dikenal sebagai gudang pemain bertahan terbaik dunia. Sebagian besar dari mereka mempraktikkan catenaccio atau sistem gerendel ala Negeri Piza tersebut. Namun, seorang pria Andrea Dossena tidak takut melabrak stereotipe tersebut.

Andrea Dossena, sepakbola adalah tentang mencetak banyak gol. (Foto: Getty Images)

Bek anyar Liverpool ini terang-terangan menyatakan tidak suka dengan konsep catenaccio yang identik dengan permainan bertahan Italia tersebut.

"Stereotipe yang menyebutkan sepakbola Italia hanya tahu bertahan adalah salah. Saya percaya bahwa tim harus bermain positif dan mencetak banyak gol," imbuh bek yang melakukan debutnya di tim nasional pada Oktober 2007 ini.

Bersama Udinese, klubnya terdahulu, Dossena tidak sungkan naik mendukung serangan sembari menyumbang assist dan melakukan tekel-tekel vital untuk mengantar Zebrette ke peringkat tujuh Seria A musim lalu.

Setelah mengetahui Fiorentina, Juventus, dan AC Milan juga melirik pemain berumur 27 tahun ini pada musim panas lalu, kubu Merseyside rela menggelontorkan 7 juta pound (119 miliar rupiah) untuk jasa mantan pemain Hellas Verona ini. Dossena mencatatkan diri sebagai pemain internasional Italia pertama yang dikontrak The Reds.

Sempat Kaget

Dossena termasuk dari mereka yang kaget dengan permainan Liga Inggris. Pemain yang dipuji memiliki kontrol diri tinggi sehingga tidak terburu-buru melakukan tekel ini berpendapat di BPL bola bergerak terus sehingga lebih sedikit waktu untuk berpikir.

“Di Inggris semua tentang possession dan bola berpindah lebih cepat. Anda harus mempunyai kecepatan, kekuatan tubuh, dan determinasi tinggi. Aspek-aspek ini adalah karakteristik keunggulan saya. Itu sebabnya saya merasa setengah Inggris, setengah Italia,” cetus Dossena kepada liverpoolfc.tv.

Di Anfield, dirinya bermain sebagai full back kiri dalam skema 4-4-2, suatu pergeseran dari skema 3-5-2 yang biasa ia lakoni di Udinese. Akan tetapi, Dossena yakin perubahan taktik ini tidak akan melukai permainannya.

Keunggulan Rafa Benitez, sang pelatih, yang menguasai bahasa Italia, adalah salah satu alasan Dossena mengerti kemauan sang gaffer. “Kebanyakan pembicaraan saya dengan Rafa adalah mengenai taktik. Ia membeberkan beberapa hal, tapi yang penting adalah menjaga keseimbangan di lapangan,” ucap pemain yang menggunakan nomor punggung 2 ini.

"Dia telah melakukan tugas yang baik. Memang tidak mudah datang ke negara baru dan bermain dengan sistem mereka. Tetapi Dossena haus untuk belajar dan ia akan menjadi lebih baik pada setiap permainannya," jelas Benitez.

Publik Anfield harus bersyukur. Pascakepergian John Arne Riise ke AS Roma, sisi kiri Liverpool akan semakin kokoh dengan kehadiran Dossena. (cw-3)

DATA DIRI
---------------------------
Nama Lengkap: Andrea Dossena
Tempat/Tanggal Lahir: Lodi, Italia/11 September 1981
Postur: 180 cm/77 kg
Posisi: Bek Kiri

Karier Klub
2001-2005 Verona (99/3)
2005-2006 Treviso (21/0)
2006-2008 Udinese (63/2)
2008-... Liverpool (6/0*)
Ket *: Hingga 5 Oktober 2008

Karier Timnas
2007-... Italia (4/0*)
Ket *: Hingga 11 Oktober 2008

Tidak ada komentar: