Sebuah kata sederhana yang mungkin jarang kita gunakan dalam kehidupan
sehari-hari, tetapi seringkali kita praktekkan langsung baik secara sadar
maupun tidak sadar. Beberapa waktu lalu saya berkumpul dengan teman-teman
lama saya. Seperti biasanya kami
membicarakan mengenai pekerjaan, pasangan hidup, masa lalu, dan berbagai
macam hal lainnya.
Setelah pulang saya baru tersadar, bahwa kami satu sama lain saling berlomba
untuk memamerkan keluhan kami masing-masing seolah-olah siapa yang paling
banyak mengeluh dialah yang paling hebat.
"Bos gue kelewatan masa udah jam 6 gue masih disuruh lembur, sekalian aja
suruh gue nginep di kantor!"
"Kerjaan gue ditambahin melulu tiap hari, padahal itu kan bukan "job-des"
gue"
"Anak buah gue memang bego, disuruh apa-apa salah melulu".
Kita semua melakukan hal tersebut setiap saat tanpa menyadarinya.
Tahukah Anda semakin sering kita mengeluh, maka semakin sering pula kita
mengalami hal tersebut. Sebagai contohnya, salah satu teman baik saya selalu
mengeluh mengenai pekerjaan dia. Sudah beberapa kali dia pindah kerja dan
setiap kali dia bekerja di tempat yang baru, dia selalu mengeluhkan mengenai
atasan atau rekan-rekan sekerjanya. Sebelum dia pindah ke pekerjaan
berikutnya dia selalu ribut dengan atasan atau rekan sekerjanya. Seperti
yang bisa kita lihat bahwa terbentuk suatu pola tertentu yang sudah dapat
diprediksi, dia akan selalu pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan
berikutnya sampai dia belajar untuk tidak mengeluh.
Mengeluh adalah hal yang sangat mudah dilakukan dan bagi beberapa orang hal
ini menjadi suatu kebiasaan dan parahnya lagi mengeluh menjadi suatu
kebanggaan. Bila Anda memiliki dua orang teman, yang pertama selalu
berpikiran positif dan yang kedua selalu
mengeluh, Anda akan lebih senang berhubungan dengan yang mana? Menjadi
seorang yang pengeluh mungkin bisa mendapatkan simpati dari teman kita,
tetapi tidak akan membuat kita memiliki lebih banyak teman dan tidak akan
menyelesaikan masalah kita, bahkan bisa membuat kita kehilangan teman-teman
kita.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kita mengeluh? Kita mengeluh karena
kita kecewa bahwa realitas yang terjadi tidak sesuai dengan harapan kita.
Bagaimana kita mengatasi hal ini. Caranya sebenarnya gampang-gampang susah,
kita hanya perlu bersyukur.
Saya percaya bahwa di balik semua hal yang kita keluhkan PASTI ADA hal yang
dapat kita syukuri. Sebagai ilustrasi, Anda mengeluh dengan pekerjaan Anda.
Tahukah Anda berapa banyak jumlah pengangguran yang ada di Indonesia?
Sekarang ini hampir 60% orang pada usia kerja produktif tidak bekerja, jadi
bersyukurlah Anda masih memiliki pekerjaan dan penghasilan. Atau Anda
mengeluh karena disuruh lembur atau disuruh melakukan kerja
ekstra. Tahukah Anda bahwa sebenarnya atasan Anda percaya kepada kemampuan
Anda? Kalau Anda tidak mampu tidak mungkin atasan Anda menyuruh Anda lembur
atau memberikan pekerjaan tambahan. Bersyukurlah karena Anda telah diberikan
kepercayaan oleh atasan Anda, mungkin dengan Anda lebih rajin siapa tahu
Anda bisa mendapatkan promosi lebih cepat dari yang Anda harapkan.
Bersyukurlah lebih banyak dan percayalah hidup Anda akan lebih mudah dan
keberuntungan senantiasa selalu bersama Anda, karena Anda dapat melihat
hal-hal yang selama ini mungkin luput dari pandangan Anda karena Anda
terlalu sibuk mengeluh.
Try it now:
1. Bersyukurlah setiap hari setidaknya satu kali sehari. Bersyukurlah
atas pekerjaan Anda, kesehatan Anda, keluarga Anda atau apapun yang dapat
Anda syukuri. Ambilah waktu selama 10-30 detik saja untuk bersyukur kemudian
lanjutkan kembali kegiatan Anda.
2. Jangan mengeluh bila Anda menghadapi kesulitan tetapi lakukanlah hal
berikut ini. Tutuplah mata Anda, tarik nafas panjang, tahan sebentar dan
kemudian hembuskan pelan-pelan dari mulut Anda, buka mata Anda, tersenyumlah
dan pikirkanlah bahwa suatu saat nanti Anda akan bersyukur atas semua yang
terjadi pada saat ini.
3. Biasakan diri untuk tidak ikut-ikutan mengeluh bila Anda sedang
bersama teman-teman yang sedang mengeluh dan beri tanggapan yang positif
atau tidak sama sekali. Selalu berpikir positif dan lihatlah perubahan dalam
hidup Anda.
"Semakin banyak Anda bersyukur kepada Tuhan atas apa yang Anda miliki, maka
semakin banyak hal yang akan Anda miliki untuk disyukuri."
Life for Success
-----------
Treasury Has No Authority to Coerce the Banks
Last week, the Treasury's Troubled Assets Relief Program was itself in deep trouble, with observers harping on the administrative nightmare it would entail. On Tuesday, Treasury announced its program of direct purchases of bank stock.
The capital-infusion program would be voluntary for the banks wanting to raise new capital this way. This approach was the right way to go. It promised to use federal resources in an effective and relatively market-friendly way.
But we've since learned from press reports, including in this newspaper, that the program was not quite so voluntary for nine of the nation's largest banks. The day before the government announced its new program, the heads of these banks apparently "volunteered" to sign up the way a soldier is "volunteered" for latrine duty. "Yes sir, sergeant, right away, sir."
To my knowledge, there is no statute that permits the U.S. government to require that a corporation sell stock to the government. Is Treasury so panicked by the financial crisis that it is willing to abandon normal democratic processes, such as acting under statutory powers?
The sad thing is that there is no need to strong-arm large banks; indeed, this tactic adds risk to the financial stabilization effort. Treasury's argument, as I understand it, is that it needs to require some participation in the capital-infusion program to avoid stigma. Because participation carries terms objectionable to banks, such as limits on executive compensation, only weak banks will want to participate willingly. If some banks participated and others did not, those who did would be in effect declaring they were weak and scaring away depositors and investors.
The stigma argument does carry some weight. But the way to deal with it is for participating banks to raise private capital as well as Treasury capital -- so that they can demonstrate that they are unquestionably solvent and strong. One way to demonstrate strength would be to hold capital clearly in excess of the regulatory minimum.
One risk posed by Treasury's less-than-voluntary approach: What if a courageous board of directors of one of the nine large banks doesn't agree to sell stock to the Treasury, despite the CEO's promise? After all, a board should be more than a rubber stamp for the CEO. What if a stockholder suit blocks a bank's participation? Then what? Would Treasury apply further turns of the extralegal screw to the recalcitrant bank?
If a bank hangs tough, we have some very rough times immediately ahead. If no bank resists, we have some tough times ahead for the longer run, because, large bank or small, the federal government is now beginning to walk down the path of credit allocation.
Treasury Secretary Hank Paulson was quoted by Bloomberg on Tuesday as saying that "leaving businesses and consumers without access to financing is totally unacceptable." Actually, it is perfectly acceptable to leave certain businesses and consumers without access to credit. Everyone understands that we would be a lot better off today if the market had denied mortgage credit to many subprime borrowers. Can federal direction as to which businesses and which consumers banks must serve be far behind -- even if not from this Treasury Secretary, then from his successor, or from elsewhere in the federal government?
Some banks need more capital not to expand lending, but to shore up the existing balance sheet. It would be a terrible mistake for Treasury to direct banks participating in its capital-infusion program to expand credit in particular directions, or in the aggregate. Exhibit A: Fannie Mae and Freddie Mac, both now wards of the state. Do we need further exhibits? Federal credit allocation will be an unmitigated disaster.
Banks will not want to play this game. Treasury's new program provides that a bank can exit by repurchasing Treasury shares with newly raised private capital. Given the program's distasteful features and future dangers, banks may want to exit as soon as they can to escape potential federal intrusion into their lending practices. Only weak banks, after all, may remain in the program -- a direct consequence of Treasury's strong-arm tactics. Such an outcome would be unfortunate, as many banks do need more capital.
Some will dismiss my comments as reflecting exaggerated concerns. I well remember, though, how those advocating wage-price guideposts in the 1960s dismissed fears of full-blown wage-price controls. But when comprehensive controls became politically convenient for President Richard Nixon, he imposed them in 1971.
We face the same issue with credit controls. Consider the temptation: Congress may now be able to force off-budget assistance to struggling homeowners and others through Treasury's capital-infusion program. Isn't it logical, members could argue, that participating banks, benefiting from taxpayer-provided capital, do their "fair share" of mortgage relief?
In managing the financial crisis, the worst may not happen -- and I hope it does not. But the arm-twisting applied to the nine large banks is a terrible precedent. The danger is that the financial mess will be turned into a larger, even more critical governmental mess as well.
Mr. Poole, a senior fellow at the Cato Institute, was president and CEO of the Federal Reserve Bank of St. Louis from 1998 to March 2008.
Pasca-Penjatuhan Sanksi atas Atletico
Kompak Memprotes UEFA
Selasa (14/10), UEFA resmi menjatuhkan sanksi kepada Atletico Madrid atas insiden kerusuhan saat menjamu Marseille di matchday 2 Liga Champion (1/10). Suporter Los Rojiblancos dianggap melakukan tindakan rasis dan membentangkan spanduk yang memuat slogan Nazi.
Berdasarkan keputusan tersebut, Los Rojiblancos didenda 150 ribu euro (sekitar 1,98 miliar rupiah) plus kewajiban menggelar dua pertandingan kandang Liga Champion, yakni melawan Liverpool (22/10) dan PSV (26/11), di luar Vicente Calderon. Kedua laga tersebut harus berlangsung dalam radius minimal 300 kilometer dari Madrid.
UEFA juga memberikan masa percobaan lima tahun. Artinya, jika dalam waktu tersebut kembali terjadi kasus serupa, Atleti harus menjalani satu pertandingan di luar kandang.
Uniknya, Komite Disiplin UEFA menyebut bahwa kerusuhan dipicu pemukulan yang dilakukan polisi.
"Ingat, dua musim lalu dalam pertandingan Sevilla-Tottenham, polisi Spanyol juga memukuli suporter, termasuk penyandang cacat," kata Direktur Komunikasi UEFA, William Gaillard, kepada radio Onda Cero.
Gelombang Protes
Pernyataan ini jelas langsung dibantah. "Kami menyayangkan pernyataan UEFA. Justru pendukung Marseille yang menghina dan melempari petugas yang atas persetujuan pejabat UEFA hendak menurunkan spanduk bernada provokasi," ucap Sekretaris Kepolisian Spanyol, Lorenzo Nobreda.
Presiden Atletico, Enrique Cerezo, selain menolak seluruh tuduhan kekerasan dan sikap rasis, juga menilai sanksi ini tak memenuhi asas keseimbangan. "Keputusan dibuat hanya berdasarkan laporan Sekjen Marseille dan berita dalam surat kabar Prancis," kata Cerezo.
Kubu calon lawan, Liverpool, turut mengeluh. "Kami telah menyurati UEFA atas keputusan ini. Sekitar 2.500 suporter Liverpool yang sudah membeli tiket tentu akan kesulitan jika pertandingan dipindah," tutur Rick Parry, Ketua Eksekutif Reds.
"UEFA terlalu lama mengambil keputusan. Padahal, semua pendukung klub telah memesan tiket perjalanan," ujar juru bicara Spirit of Shankly, salah satu kelompok suporter Liverpool.
Di samping itu, pelatih Atletico, Javier Aguierre, dilarang mendampingi dan berkomunikasi dengan tim dalam dua pertandingan Liga Champion setelah dianggap bersalah menghina gelandang Marseille, Mathieu Valbuena.
"Perilaku Aguierre merupakan contoh yang buruk. Saya sangat menentang sikap seperti itu, terlebih bila dilakukan pelatih yang seharusnya mengarahkan dan mengendalikan pemain," kata Valbuena. (cw-1)
Sebuah kisah inspirasional dari negri China
13 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar