Rabu, 15 Oktober 2008

Menjauhi Dendam



Dalam kehidupan kita ini, ada orang-orang yang merasa hidupnya
hanyalah akan berarti apabila mereka mampu membalas dendam. Bagi
orang-orang yang
memendam dendam ini, tidak ada kehormatan atau makna lain selain
terbalasnya dendam kesumat tersebut.

Dendam sebenarnya juga merupakan sebuah cita-cita, namun biasanya
lebih bermakna negatif. Cita-cita itu memang penting dimiliki oleh
siapa pun.
Cita-citalah yang bisa memberi kekuatan atau dorongan yang sangat
besar. Cita-citalah yang men-drive seseorang menuju impiannya.
Tetapi sekali lagi,
dendam adalah sebentuk cita-cita yang negatif.

Memang dendam itu memberikan energi yang luar biasa besar, tetapi
juga membutakan mata, mematikan perasaan, dan melenyapkan akal
sehat. Dendam
selalu mendorong orang untuk menyakiti, melecehkan, meruntuhkan
moral, menghancurkan, bahkan memusnahkan pihak lain. Tanpa pandang
bulu dan bila
perlu melawan siapa pun yang menghalangi terbalasnya dendam itu.
Petaka dendam semacam ini dapat kita lihat dalam kisah-kisah
kerajaan di masa lalu, tapi
juga masih ada di kehidupan kita sehari-hari hingga saat ini.

Orang bisa saja memiliki dendam yang sangat kuat, ada pula yang
bersifat ringan. Namun dendam tetaplah dendam yang apabila
dibalaskan akan menimbulkan
masalah baru. Yang sangat-sangat berbahaya dari dendam adalah
kemampuannya untuk menciptakan dendam balasan. Dendam yang
terlampiaskan akan
melahirkan dendam kesumat baru di pihak yang dihancurkan. Anak
keturunan atau siapa pun yang terkait akan melanjutkan dendam dan
bersumpah
membalaskan dendam tersebut. Seperti lingkaran setan yang tak
berujung pangkal.

Satu-satunya buah dendam hanyalah samudera keperihan yang tak
bertepi. Tetapi hingga detik ini, kita saksikan tindakan-tindakan
brutal tak
berperikemanusiaan yang melahirkan dendam-dendam baru. Kita lihat
bagaimana perang yang terjadi di Timur Tengah atau belahan bumi
lainnya, di mana
tindakan saling bunuh dan saling menghancurkan telah menimbulkan
dendam kolektif yang luar biasa destruktif.

Dalam benak saya, alangkah indahnya jika keseluruhan energi dan
pikiran kita difokuskan bukan untuk melampiaskan dendam, tetapi
dicurahkan untuk
tujuan-tujuan yang bermanfaat baik untuk diri pribadi kita maupun
orang lain. Alangkah damainya republik ini jika setiap dari kita
ikut serta dalam
berlomba-lomba melakukan kebaikan demi kebahagiaan orang-orang di
sekitar kita, serta mereka yang membutuhkan pertolongan kita.
Hilangkan dendam antar
golongan, suku, agama, ras, ideologi atau keyakinan politik.
Sesungguhnya kita dipersatukan dalam tindakan kebaikan. Andrie
Wongso

Setahun Kematian Antonio Puerta
Masih Menyisakan Masalah

Pada 28 Agustus lalu tepat setahun berlalu sejak berita kematian Antonio Puerta menghiasi media seantero jagat raya. Kabar ini terasa begitu menyesakkan karena sayap kiri Sevilla asal Spanyol tersebut meninggal dunia setelah sebelumnya jatuh pingsan di atas lapangan.

Segala bentuk penghormatan telah dilakukan Sevilla guna mengenang mendiang pemain yang merupakan jebolan akademi Sevilla tersebut. Selain “diistirahatkannya” jersey bernomor 16 yang biasa dikenakan Puerta, hingga kini Sevillistas juga selalu memberikan standing ovation dan mengeraskan volume sorakan setiap laga di Ramon Sanchez Pizjuan memasuki menit ke-16.

Kendati begitu, ironisnya hingga detik ini pula keluarga Puerta belum sepenuhnya menerima kompensasi atas hilangnya putra kesayangan mereka. Bahkan, menurut berita yang dilansir goal, keluarga Puerta berencana menuntut klub di bawah kepemimpinan Maria del Nido itu.

Alasannya pihak keluarga merasa dana asuransi senilai 240.000 euro (sekitar 3,16 miliar rupiah) tidak cukup untuk menutupi “moral damage” yang mereka derita. Padahal menurut Los Blancos, uang sebesar itu sesuai dengan kebijakan asuransi yang diterapkan klub.

Melalui pengacara yang mewakili keluarga Puerta, Jose Manuel Mauduit, pihaknya berniat menekan klub lewat kesalahan prosedur yang dilakukan dokter tim di pinggir lapangan saat Puerta masih kritis. Kata Mauduit, seharusnya kala itu dokter tim tak menyuruh Puerta berdiri dan berjalan ke pinggir lapangan lalu ke ruang ganti.

Intinya pihak keluarga berkeras bahwa insiden ini seharusnya bisa dielakkan. Apalagi sempat beredar kabar bahwa dokter tim pun sudah mengetahui adanya masalah dengan jantung Puerta sebelum pertandingan.

Pihak klub sendiri tak mau berkomentar. Namun, media lokal yakin bahwa penolakan ini hadir bukan lantaran klub cuek, tapi lebih karena Sevilla menginginkan adanya jabat tangan alih-alih perang di meja hijau. (shr)

Tidak ada komentar: