Rabu, 15 Oktober 2008

Kejujuran, Riwayatmu Dulu





Sejak dulu kejujuran dipandang sebagai kualitas manusiawi dalam praktik-moral sehari-hari. Di hadapan kepentingan sesaat, ia acap berperan
sebagai sikap protes.

Kejujuran dan kepentingan (apalagi politis) selalu bertubrukan dan saling meniadakan. Kemenangan salah satunya lebih ditentukan kadar idealisme individu. Makin tipis, rapuh, dan pragmatis, pilihannya pasti jatuh pada kepentingan, vice versa. Namun, faktanya, kejujuran sering dikalahkan oleh kepentingan.

Pada masa kini, tak mudah menemukan model kejujuran dalam arti penuh dan total. Kecuali figur the chosen one dan diberkahi Tuhan. Manusia selalu dicederai ketidakjujuran dalam hidupnya. Terlepas dari konteks metafisisnya, ketidakjujuran muncul sepanjang proses pengalaman, koeksistensi, dan interaksi antarindividu.

Fenomena ini umumnya berbentuk reaksi (biasanya refleks) atas stimulasi dan kondisi yang melingkupi dan mengimpit. Sejenis mekanisme pertahanan diri dalam bahasa psikologi.

Ketidakjujuran adalah sikap mengaburkan (atau kabur dari) kenyataan demi mengelak dari tekanan dan mengubur rasa cemas. Dalam bahasa Heideggerian, sikap ini tergolong tidak otentik. M Scott Peck dalam People of the Lie menunjukkan salah satu gejala ketidakjujuran, yakni menyerang dan mengorbankan lainnya ketimbang menghadapi kekeliruan dan kegagalannya sendiri. Kecenderungan ini muncul dari hasrat melindungi citra kesempurnaan dirinya.

Sementara kejujuran adalah eidos (spirit, esensi) yang menyembul, lalu meresapi, sekujur jiwa seseorang sebagai produk beragam faktor (pendidikan, lingkungan, dan olah batin). Istilah Arabnya, malakah. Karena itu, dikotomi aksi-reaksi tidak relevan dalam pemaknaan ini.

Saat kejujuran dipasung

Secara filosofis, kejujuran merupakan nilai moral-transendental yang selalu mendahului sekaligus menyertai pengalaman. Di sini, ketidakjujuran dimaknai sebagai absennya kejujuran. Saat kejujuran dipasung, saat itu pula ketidakjujuran menggejala. Keduanya ibarat malam dan siang hari yang tak pernah bertemu di satu titik cakrawala. Ketidakjujuran nihil, tak punya hakikat pada dirinya (non-esensial) .

Kejujuran sebagai agathon-kalon (baik-luhur) adalah mekanisme rohani yang spontan berfungsi mengendalikan dan mencegah dilakukannya kekeliruan moral. Tindakan amoral tak lain musuh abadi yang terus menggoda. Orang yang dikuasai kejujuran akan antipati dan jijik terhadap polah amoral, serta tak pernah sempat berfantasi tentangnya. Jadi, tanpa kejujuran, berperilaku sesuai bisikan moral (maxim) hanya fantasmagoria.

Namun, kejujuran, seperti sikap moral lain, juga bisa "disalahgunakan" , dimungkinkan oleh agresi rasio yang mencerabut kejujuran dari
ketertanamannya dalam keseharian yang dihayati (lebenswelt) bersama.

Oleh rasio, kejujuran diabstraksi, diverbalisasi, dan diobyektivasi habis-habisan demi penjelasan dan pemahaman positivistik. Akibatnya,
kejujuran bukan lagi seni kehidupan yang praksis dan hangat, melainkan sudah menjadi bagian rezim teori dan wacana rasional. Immanuel Kant agaknya bisa disebut pelopor proyek ini.

Oleh rasio, reproduksi kejujuran menciptakan alienasi. Ia berupa formula saintifik yang sistematis dan berjarak, bukan pengalaman pra-kognitif yang akrab dan bersahaja. Sejenis saintisme kejujuran yang dibungkus rumus-rumus pikir. Konsekuensi proses diskursif ini, individu berangsur-angsur terasing.

Rasionalisasi kejujuran

Kejujuran versi pengetahuan (bukan primordial) ibarat sisi terang bola Bumi yang dibayangi sisi gelapnya. Pengetahuan yang punya kesiapan mengagumkan untuk menjelajahi kerumitan dan detail objeknya, mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejujuran.

Namun, penjelasan itu tak kurang menggiring kita dalam situasi "keretakan" ontologis. Pengetahuan memungkinkan kita mencerap makna dan logika kejujuran. Namun, pada saat yang sama, kemampuan kita untuk mengalami dan menghayatinya kian aus.

Dampak rasionalisasi kejujuran dalam kehidupan kolektif ternyata bukan cuma bersifat fenomenologis, tetapi juga teknologis. Bagi orang "pintar",
terlebih "berkuasa", fenomena ini memberi peluang untuk melegitimasi tindakan melawan hukum atau kode moral.

Kejujuran yang berubah statusnya dari primordial, intensional, dan pra-kognitif menjadi wicara dan kode pengetahuan- yang dikembangbiakkan di
ranah publik-rentan dijadikan "teknik" atau kedok ketidakjujuran.

Dalam konteks itu, perbedaan empiris antara ketidakjujuran dan kejujuran menjadi absurd, setidaknya tak bermakna. Tolok ukurnya hanya satu: keduanya bernilai (pragmatis) sejauh melayani kepentingan (kuasa) sesaat.

Mulanya "apa itu kejujuran", lalu "apa dan bagi siapa makna, fungsi, dan manfaatnya". Kejujuran yang sudah didespontanisasi dan dikosongkan makna hayatinya ujung-ujungnya sama belaka dengan ketidakjujuran.

Sumber: Dede Azwar Nurmanysah Peminat Masalah Humaniora

Masa Lalu Memuji Fiorentina

Saat ini prestasi Fiorentina belum memuaskan. I Gigliati masih tertahan di peringkat ke-9 Serie A. Di Liga Champion, Si Ungu juga baru mendapatkan dua hasil imbang dalam dua pertandingan pertamanya.

Terlepas dari pencapaian medioker tersebut, Fiorentina pasti sudah melakukan sesuatu yang benar. Pasalnya, dua figur masa lalu I Viola memberikan pujian untuk tim masa kini. Dua figur tersebut adalah Gabriel Batistuta serta Giancarlo Antognoni.

Batistuta adalah salah satu striker terbaik yang pernah dimiliki Fiorentina. Antara tahun 1991-2000, ia mencetak 168 gol buat Si Ungu. Batigol memberikan pujian untuk keberadaan Alberto Gilardino sebagai bomber utama Fiorentina saat ini.

"Saya tidak tahu berapa gol yang akan dibuat Gilardino musim ini. Tapi, dia adalah tipe striker yang selalu saya sukai. Di Milan, ia mungkin menghadapi terlalu banyak kompetisi, tapi di Firenze dia menemukan rumahnya dan sekarang bisa bermain secara reguler," ungkap Batigol seperti dikatakannya kepada situs Tribal Football.

Penerus Nomor 10

Sementara itu, Antognoni merupakan gelandang serang terbaik yang memperkuat I Viola antara tahun 1972-1987. Pemain yang juga sempat membela tim nasional Italia antara tahun 1974-1983 ini memuji gelandang muda andalan Fiorentina saat ini, Riccardo Montolivo.

Antognoni menyebut Montolivo sebagai penerusnya untuk memakai kostum nomor 10 di Fiorentina maupun Italia. Seragam nomor 10 dikenal sebagai "nomor keramat" yang hanya dipakai oleh pemain-pemain istimewa.

Pujian Antognoni datang bersamaan dengan kondisi Montolivo diberi kepercayaan menjadi starter Italia dalam laga kualifikasi Piala Dunia 2010 melawan Bulgaria (11/10). Ia mengenakan kostum Gli Azzurri nomor 10.

"Di satu sisi, saya kecewa karena kehilangan rekor. Saya adalah pemain terakhir Fiorentina yang mengenakan kostum nomor 10 di tim nasional Italia," kata Antognoni di La Gazzetta dello Sport.

"Tapi, di sisi lain, saya bahagia untuk Montolivo. Dia pantas mendapatkan sukses yang dimilikinya sekarang. Saya yakin dia layak mengenakan kostum nomor 10 itu."

Montolivo sendiri berharap ini bukan kali terakhir ia dipercaya menjadi starter Italia. "Saya tahu ini adalah tanggung jawab besar. Tapi, saya memiliki peran yang penting di Fiorentina akhir-akhir ini dan berharap bisa melakukan yang sama di tim nasional Italia," kata pemain kelahiran 18 Januari 1985 ini.

Tidak ada komentar: